Minggu, 25 Maret 2012

Sejarah Sembilan Wali

Sejarah Sembilan Wali

Sejarah Oleh : Redaksi 01 Jan 2003 - 8:57 am

"Walisongo" berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid

Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.

Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.

Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.n

Maulana Malik Ibrahim (1)
Pesantren.net : Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi

Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.

Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.

Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.

Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.n


Sunan Ampel (2)
Pesantren.net : Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang)

Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.

Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.

Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.

Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah "Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina."

Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.n


Sunan Giri (3)
Pesantren.net : Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya--seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).

Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.

Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah "giri". Maka ia dijuluki Sunan Giri.

Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.

Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.

Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.

Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.

Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.n


Sunan Bonang (4)
Pesantren.net : Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban

Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali --yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.

Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.

Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah

yang berarti "sapi betina". Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.n


Sunan Kalijaga (5)
Pesantren.net : Dialah "wali" yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam

Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.

Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam ('kungkum') di sungai (kali) atau "jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab "qadli dzaqa" yang menunjuk statusnya sebagai "penghulu suci" kesultanan.

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.

Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.

Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga

dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.n


Sunan Gunung Jati (6)
Pesantren.net : Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).

Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.

Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.

Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.

Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.

Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.

Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.n

Sunan Drajat (7)
Pesantren.net : Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M

Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun

Jelog --pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.

Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah "berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang'.

Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.n


Sunan Kudus (8)
Pesantren.net : Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang

Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali --yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.

Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.

Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah

yang berarti "sapi betina". Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.n


Sunan Muria (9)
Pesantren.net : Ia putra Dewi Saroh --adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus

Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.

Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.n (Pesantren.net : )

Mohammad Roem : Secara Substansial Negara Islam itu Ada

Kamis, 18 November 2010

Mohammad Roem : Secara Substansial Negara Islam itu Ada

Sejarah Oleh : Redaksi 28 Apr 2003 - 8:52 am

Dalam catatan sejarah nasional, nama tokoh ini sangat mencuat di akhir tahun 1940-an. Waktu itu Mr Mohammad Roem diamanahi oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai ketua tim juru runding RI dalam perundingan dengan Belanda. Tim juru runding dari Belanda diketuai Van Royen. Akhirnya perundingan yang berlangsung pada tanggal 14 April 1949 itu diberi nama “Perundingan Roem-Royen”.

Mohammad Roem lahir di Desa Klewongan, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah pada tanggal 16 Mei 1908. Ia lahir sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Djulkarnaen Jayasasmito, ibunya bernama Siti Tarbiyah.

Pendidikannya dimulai di Volkschool (Sekolah Rakyat, sekolah dasar di masa Belanda) di desa kelahirannya. Ia kemudian melanjutkan ke HIS (Holland Inlandsche School) Temanggung sampai kelas III, dan diteruskan ke HIS Pekalongan. Dan tamat dari HIS Pekalongan pada tahun 1924.

Semangat perjuangannya mulai bersemi sejak di HIS. Kisahnya bermula tatkala seorang gurunya yang berkebangsaan Belanda menghardik Roem, “Zeg, Inlander!”. Dasar pribumi, begitu kira-kira artinya.

Roem sangat tersinggung dihardik demikian. Sebagai orang pribumi ia merasa dirinya dihina dan dilecehkan. Ia kemudian teringat sejumlah papan larangan di gedung-gedung bioskop, di rumah makan, dan lain-lain tempat yang mengharamkan orang pribumi masuk.

Penghinaan itu belum selesai. Diwaktu istirahat ada seorang murid Belanda yang mendorong-dorong tubuh Roem sambil mengolok-olok, “Inlander! Inlander!” Akibat dorongan itu Roem jatuh terjerembab. Tapi ia segera bangkit lalu dikejarnya anak Belanda itu. Setelah tertangkap ditinjunya perut si anak bule itu hingga muntah-muntah.

Peristiwa itu sangat membekas pada diri Roem. Ia kemudian bertekad untuk memerdekakan bangsanya agar tak lagi dihina bangsa asing. Untuk mewujudkan niatnya itu sambil bersekolah Roem kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).

Mula-mula Roem bersemangat di kelompok pemuda itu. Namun belakangan ia tidak betah berada di lingkungan Jong Java, karena aspirasi Islam tidak tertampung di situ, ia bersama Syamsuridjal dan beberapa tokoh lainnya memilih keluar, lalu pada tahun 1925 mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB) atau Himpunan Pemuda Islam.

Dalam JIB ini Roem dipercaya menjadi salah seorang anggota pimpinan pusatnya. Kemudian pada tahun 1930 ia menjadi ketua Panitia Kongres JIB di Jakarta. Ketika JIB membentuk kepanduan (Natipij) ia menjadi ketua umumnya.

Pada tahun 1930 Roem tamat dari Algemene Middlebare School (AMS) atau sekolah menengah atas. Ia kemudian melanjutkan sekolah ke Rechts Hoge School (RHS) atau Sekolah Tinggi Hukum. Dari perguruan tinggi tersebut ia berhasil meraih gelar Mester in de Rechten (Mr) atau Sarjana Hukum pada tahun 1939. Skripsinya tentang Hukum Adat Minangkabau.

Sambil kuliah dan mengurus JIB, Roem aktif di Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Pada tahun 1932 ia menjadi ketua Panitia Kongres PSII di Jakarta. Ketika terjadi kemelut di PSII, ia bersama-sama Haji Agus Salim keluar dari partai tersebut dan mendirikan PSII-Penyadar. Dalam partai baru tersebut ia menjadi Ketua Komite Centraal Executif (Lajnah Tanfidziyah).

Kemelut itu terjadi karena PSII dalam pandangan Roem lebih menekankan pada aspek politik sementara tujuan dasar SI, yaitu memajukan perekonomian bumiputera, tidak diperhatikan lagi. Syarikat Islam juga tidak memperhatikan lagi masalah pendidikan agama Islam atau pengkaderan.

Untuk mengamalkan ilmu hukumnya, Roem membuka kantor pengacara (advokat) di Jakarta. Sebagian di antara organisasi yang mempercayakan jasa kepengacaraannya adalah Rumah Piatu Muslim di Jakarta dan Perhimpunan Dagang Indonesia (Perdi) di Purwokerto.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Roem dipercaya sebagai Ketua Muda “Barisan Hizbullah” di Jakarta. Barisan Hizbullah adalah organisasi semi-militer di bawah naungan Masyumi.

Dalam Muktamar Masyumi tahun 1947 diputuskan bahwa ummat Islam harus ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Negara Islam Indonesia tidak akan tegak kalau Indonesia belum merdeka, itulah alasannya. Oleh karena itulah para pimpinan dan anggota Masyumi berjuang mati-matian mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Apalagi setelah ada fatwa wajib jihad kepada seluruh umat Islam dari Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama yang juga salah seorang pendiri Masyumi.

Mohammad Roem-pun berjihad mati-matian mempertahankan kemerdekaan Indonesia, utamanya melalui jalur perundingan/diplomasi. Sikapnya untuk selalu menghargai pendapat orang lain meski berbeda dengan pendapatnya, menunjang keberhasilannya sebagai diplomat.

Oleh Pemerintahan Soekarno ia mendapat amanah menjadi angota tim juru runding RI dalam perundingan Renville 17 Januari 1948. Kemudian, seperti telah disinggung di atas, Roem diangkat sebagai ketua juru runding RI dalam perundingan Roem-Royen pada tanggal 14 April 1949.

Perundingan tersebut dinilai berhasil karena telah mendorong segera terselenggaranya Konferensi Meja Bundar dan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda tahun 1949.

Di masa berikutnya Roem pernah menjabat sebagai menteri dalam negeri dalam kabinet Natsir (1950-1953) serta pernah juga menjadi wakil perdana menteri dalam kabinet Ali Sastroamijoyo (1956-1957).

Pada masa Demokrasi Terpimpin, terjadi konflik antara Masyumi dengan Presiden Soekarno. Apalagi kemudian beberapa pemimpin Partai Masyumi, seperti Natsir bergabung dalam pemberontak PRRI.

Sejak Partai Masyumi membubarkan diri, karena dipaksa Soekarno, pada tanggal 17 Agustus 1960, Roem tidak lagi memegang jabatan di pemerintahan. Ia kemudian memusatkan perhatian pada penulisan buku dan penelitian sejarah perpolitikan di Indonesia serta bidang ilmiah lainnya.

Kegiatan ini tidak berjalan lancar, karena pada tanggal 16 Januari 1962, ia bersama-sama dengan beberapa tokoh Masyumi dan PSI ditahan pemerintah tanpa pengadilan. Mereka dituduh oleh Pemerintahan Presiden Sukarno terlibat peristiwa Cendrawasih, yakni peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di Makassar.

Roem dan kawan-kawan bisa keluar dari tahanan pada tahun 1966 setelah pemerintahan Soekarno goyang usai pemberontakan PKI tahun 1965. Selepas dari penjara kegiatan menulis buku dan penelitian diteruskan kembali. Salah satu kesibukannya antara lain menjadi Wakil Ketua Dewan Kurator Sekolah Tinggi Kedokteran Islam Jakarta pada tahun 1971.

Pada tahun 1969 Roem sempat hampir kembali ke kancah politik setelah terpilih sebagai ketua Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Ini adalah partai ‘jelmaan’ Masyumi yang didirikan oleh para mantan kader Masyumi.

Sayangnya Soeharto, presiden waktu itu, tidak menyetujui. Soeharto khawatir, jika dipimpin Roem, Parmusi bisa menjadi partai besar seperti Masyumi dulu, hingga menyaingi Golkar. Atas desakan pemerintah, terpaksa Roem batal jadi Ketua Parmusi, digantikan oleh Djarnawi Hadikusumo.

Sejak itu Roem betul-betul undur diri dari dunia politik praktis. Kemudian bersama-sama M Natsir dan kawan-kawan mantan kader Masyumi lainnya mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di tahun 1970-an. Di tempat inilah kakek dari Adi Sasono ini berkhidmat bersama para warga Bulan Bintang.

Sejak itu Roem aktif dalam berbagai fora Islam internasional, antara lain menjadi anggota Dewan Eksekutif Muktamar Alam Islami (1975), Member of Board Asian Conference of Religion for Peace di Singapura (1977) serta menjadi anggota Konferensi Menteri-Menteri Luar Negeri Islam di Tripoli (1977).

Meski begitu perhatiannya pada perkembangan Islam di tanah air tidak juga berkurang. Suat ketika Amien Rais dalam wawancaranya dengan majalah Panji Masyarakat (no 379/1982) menyatakan tidak ada negara Islam dalam Al-Quran dan As-Sunnah, “Oleh karena itu tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam,” kata Amien Rais.

Atas pandangan Amien itu kemudian Roem mengirimkan tanggapan ke majalah yang sama. Roem membenarkan, bahwa memang tidak ada negara Islam dalam nama, namun secara substansial ada. “…Pada akhir hayat Nabi, pada saat Surat Al-Maidah ayat 3 diwahyukan, maka sudah tumbuh sebuah masyarakat yang dibangun oleh dan di bawah kepemimpinan Nabi sendiri, yang tidak diberi nama khusu oleh Nabi, akan tetapi sudah mempunyai ciri-ciri sebagai negara, sedang hukumnya oleh Tuhan sudah dinamakan sempurna… Saya rasa selama tidak lebih dari tiga bulan itu di dunia pernah ada ‘Negara Islam’ atau Islamic State, tidak dalam nama, melainkan dalam substance, dalam hakikatnya.”

Sesudah itu Nurcholish Madjid yang sedang berada di Chicago menyuratinya, sehingga berlangsung korespondensi antara mereka berdua selama beberapa bulan. Setelah korespondensi berakhir, Mohammad Roem dipanggil ke hadhirat Allah pada tanggal 24 September 1983.

Pada tahun 1997 kumpulan korespondensi itu plus wawancara Amien Rais dengan majalah Panji Masyarakat serta tanggapan Roem dibukukan dan diterbitkan oleh Adi Sasono, lalu diberi judul “Tidak Ada Negara Islam; Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohammad Roem”.

Judul buku itu jelas menyesatkan, seolah-olah Roem menafikan keberadaan negara Islam. Padahal sesungguhnya, sebagaimana kutipan di atas, Roem mengakui pernah ada negara Islam, meski tidak dinamakan Negara Islam, yakni pemerintahan yang dipimpin oleh Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. (Agung Pribadi/SHW)

Sumber Hidayatulah Edisi 12/XV 2003 - Sejarah

Mencari Akar Kekerasan Militer di Aceh: 1989-1998

Kamis, 18 November 2010

Mencari Akar Kekerasan Militer di Aceh: 1989-1998

Sejarah Oleh : Redaksi 26 Jun 2003 - 1:01 am

image Aceh, daerah yang memiliki sejarah panjang dalam perlawanan terhadap Belanda, hingga hari ini masih terus menerus di rundung berbagai bentuk kekerasan. Sejak awal kemerdekaan berbagai gerakan perlawanan baik sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat di Jakarta maupun sebagai wujud keinginan sejumlah elemen masyarakat untuk menjadikan Aceh “merdeka” terus-menerus muncul ke permukaan. Deklarasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di tahun 1976 telah memberikan alasan kepada pemerintah pusat untuk menjadikan daerah ini sebagai daerah operasi militer terutama sejak akhir 1980-an sampai dengan 1998 dengan sandi operasi militernya yang terkenal: Operasi Jaring Merah.

Secara umum ada dua cara untuk memahami berbagai persoalan yang muncul di Aceh. Pertama dengan cara melihat sejarah panjang tradisi perlawanan di daerah ini. Secara historis, Aceh pernah menjadi kerajaan Melayu-Muslim yang sangat kuat selama ratusan tahun.[1] Ketika Belanda datang diakhir abad ke-19 ia masih berstatus sebagai kesultanan yang independen. Dimasa colonial, daerah ini melakukan perlawanan paling panjang dengan berperang selama lebih kurang 70 tahun dari 1873 hingga 1942. Aceh kemudian berada dibawah kekuasaan Jepang hingga 1945 sebelum kemudian bergabung dengan Republik Indonesia di masa perang kemerdekaan (1945-1949). Soekarno, tokoh perjuangan kemerdekaan waktu itu berhasil meyakinkan Aceh bahwa dengan menjadi bagian dari Republik Indonesia Aceh akan mendapatkan perlindungan, kemakmuran, dan otonomi yang luas sebagai sebuah provinsi. Karena kekecewaan terhadap pemerintah pusat, di akhir 1950-an hingga awal 1960-an Aceh melakukan gerakan perlawanan Darul Islam (DI) dibawah pimpinan Tengku Daud Beureueh. Pemberontakan ini dapat diakhiri setelah pemerintah setuju memberikan status istimewa kepada Aceh dengan kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri dalam hal agama dan pendidikan. Sayangnya, janji ini tak pernah ditepati.

Kedua, berbagai persoalan itu terkait dengan perubahan dramatis secara ekonomi, sosial, maupun politik selama tiga dekade terakhir atau lebih. Secara legal formal Aceh berstatus sebagai Daerah Istimewa dimasa Orde Baru. Namun secara praktikal status ini hanyalah nama, tidak ada perbedaan signifikan dengan propinsi yang “tidak istimewa”. Pembangunan ekonomi yang menjadi legitimasi utama Orde Baru telah menggeser status dan kewenangan para pemimpin tradisional religius disatu sisi, sedangkan disisi lain muncul kelas elit baru yang dikenal sebagai teknokrat. Elit baru ini lebih memiliki loyalitas kepada pemerintah pusat daripada elit-elit local. Lebih jauh lagi, pembangunan itu sendiri telah gagal mendatangkan keuntungan yang memadai bagi masyarakat Aceh.[2] Exploitasi gas alam Arun, Lhokseumawe, telah mendatangkan keuntungan luar biasa bagi pemerintah pusat. Sumbangan Aceh untuk APBN adalah sekitar 20 persen setiap tahun. Hanya sekitar satu persen dari sumbangan itu yang diinvestasikan kembali di Aceh, secara langsung maupun secara tidak langsung. Aceh adalah daerah yang kaya akan sumber-sumber ekonomi, namun secara ironis masyarakatnya tetap terbelakang dan miskin. Situasi ini antara lain yang membawa kepada populernya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagi saluran alternatif bagi masyarakat untuk menyampaikan kekecewaannya.

Kedua pendekatan ini mampu menjelaskan mengapa rakyat Aceh memberontak atau terus menerus melakukan perlawanan. Akan tetapi keduanya tidak cukup mampu menjelaskan mengapa kekerasan militer dan pelanggaran hak-hak asasi manusia terjadi secara massif di Aceh.

Keberadaan GAM dengan tuntutannya untuk memerdekakan Aceh, menjadi alasan utama pemerintah Orde Baru untuk menjadikan daerah ini tempat operasi militer. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa bukan hanya GAM dan anggota GAM yang menjadi target operasi militer. Militer Indonesia melakukan indiscriminate violence, menjadikan semua penduduk sebagai target, sehingga masyarakat Aceh terteror dan terus menerus berada dalam tekanan. Pelanggaran hak asasi manusia menjadi hal yang terdengar hampir setiap hari.[3] Menurut Robinson, selama sepuluh tahun masa DOM sekitar 2000 orang telah tewas dan lebih banyak lagi yang tidak sempat terhitung, termasuk yang ditahan, dianiaya, dan wanita-wanita yang diperkosa. Al Chaidar mencatat ada sekitar 3800 hingga 5000 orang yang terbunuh dan yang tidak terhitung jauh lebih banyak lagi. Sementara Ishak menyatakan bahwa sekitar tujuh ribu orang telah tewas selama masa 1989 hingga 1998. Sedangkan data dari Tapol, sebuah NGO internasional berbasis di London, dengan mengutip berbagai laporan dari human rights groups, adalah sebagai berikut: 3000 warga sipil terbunuh; 3862 hilang; 4663 mengalami penganiayaan; 186 diperkosa; 16 ribu anak kehilangan orang tua; dan 90 ribu lainnya menjadi pengungsi dan tidak lagi memiliki tempat tinggal. Sedikitnya 100 kuburan massal ditemukan, satu diantaranya menampung 200 mayat yang mengalami penganiayaan berat. Diantara penduduk yang masih bertahan di Aceh, ada sekitar 170 ribu orang yang mengalami trauma berat dan sekitar 6800 orang mengalami sakit mental atau jiwa.

Berbagai fakta tersebut menunjukkan betapa brutalnya militer Indonesia terhadap rakyatnya sendiri. Mengapa harus melakukan indiscriminate violence kalau hanya untuk menumpas pemberontak? Faktor apakah yang bisa menjelaskan perilaku kekerasan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia dikalangan militer Indonesia ini? Pertanyaan penting tersebut akan coba ditelusuri lewat tulisan ringkas ini. Pada dasarnya tulisan ini berpendapat bahwa kekerasan terhadap rakyat sipil dalam skala yang luas di Aceh di masa DOM terutama disebabkan oleh kebijakan dan praktek militer Indonesia. Perilaku kekerasan militer ini ada kaitannya dengan citra diri (self perception) militer. Sebagai pencerminan lebih jauh dari citra diri ini adalah persepsi militer terhadap sipil di Indonesia dan persepsi militer terhadap ancaman (threats). Persepsi ini akan ditelusuri dengan menganalisa secara ringkas doktrin dan sejarah tentara di Indonesia. Kebijakan-kebijakan militer yang antara lain mencerminkan citra dirinya di implementasikan oleh rejim yang sangat represif dimana militer berada dalam kontrol penguasa tunggal Orde Baru yakni Suharto.[4]

Militer di Aceh di Masa DOM

Operasi Jaring Merah adalah nama sandi resmi dari operasi militer tentara Indonesia di Aceh dari tahun 1989 sampai dengan 1998. Keberadaan operasi ini menjadikan Aceh kemudian dikenal dengan nama Daerah Operasi Militer (DOM), sebuah nama yang tidak resmi dan bukan berasal dari pemerintah Indonesia namun menjadi sangat popular di kalangan masyarakat dan dunia internasional.

Gerakan separatis, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diakhir era 1980-an makin hari makin mendapatkan dukungan yang meluas. Dukungan itu tampak sangat jelas didaerah-daerah yang menjadi kantong-kantong GAM seperti Pidie di Aceh Utara dan Aceh Timur di masa pertengahan tahun 1990. Sejak diproklamasikannya GAM pada tahun 1976, sebetulnya pemerintah telah memberlakukan operasi territorial didaerah ini. Melalui serangkaian serangan militer oleh ABRI, GAM berhasil di tumpas diakhir 1970-an atau awal 1980-an.[5] Namun melalui serangkaian serangan terhadap pos-pos polisi dan tentara, gerakan ini tampak menguat kembali di tahun 1989. Peningkatan serangkaian serangan ini tampaknya terkait dengan strategi GAM yang menjadikan fase mulai tahun 1989 sebagai fase perlawanan bersenjata secara penuh setelah sebelumnya melalui fase penanaman kesadaran politik dan publikasi pers.[6] Setelah sejumlah kegagalan dalam serangan operasi teritoral di akhir 1980-an itu, ABRI melalui Komandan Komando Resort Militer (Korem) di Banda Aceh menurunkan lagi sejumlah enam ribu anggota pasukan sehingga jumlah keseluruhan tentara di lapangan saat itu menjadi duabelas ribu personil. Mulai saat itulah operasi militer dibawah DOM menjadi makin intensif diseluruh wilayah Aceh, terutama yang menjadi kantong-kantong GAM.

Bagaimanakah strategi militer dalam melancarkan operasi kekerasan agar benar-benar efektif mencapai sasaran guna penumpasan GAM? Menurut Geoffrey Robinson, strategi kekerasan militer ini dapat dibagi menjadi dua.[7] Pertama adalah institusionalisasi teror sebagai suatu upaya untuk menghadapi apa yang dipersepsikan sebagai ancaman terhadap keamanan nasional (national security). Cara ini meliputi berbagai metode seperti pemberlakuan jam malam, pencarian dari rumah ke rumah, penangkapan secara sembarangan, penganiayaan terus-menerus terhadap para tertuduh yang ditahan, pemerkosaan terhadap para perempuan yang dianggap memiliki kaitan dengan GAM, dan penembakan atau eksekusi di depan publik. Kedua, mobilisasi secara paksa dan sistematis para rakyat sipil. Tujuan dari hal ini adalah untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga asisten lapangan dan mata-mata dalam rangka operasi penumpasan pemberontakan (counter insurgency operations). Strategi mobilisasi rakyat sipil ini dilunakkan istilahnya menjadi menjadi “kerjasama sipil-militer”.

Salah satu bentuk strategi kedua ini yang sangat terkenal adalah operasi pagar betis. Dalam hal ini penduduk sipil dipaksa untuk menyapu daerah didepan pasukan ABRI dan berhadapan dengan musuh (orang yang diduga GAM) di front line. Dengan cara ini ABRI dapat memaksa penduduk untuk tidak terpencar-pencar ataupun berbalik dari daerah pertempuran. Dan para penduduk sipil ini tidak punya pilihan kecuali dua: menembak pemberontak atau ditembak tentara. Militer juga mempekerjakan unit-unit keamanan/kewaspadaan lokal dan ronda-ronda malam yang seolah-olah dibentuk oleh penduduk namun berada dibawah perintah ataupun pengawasan militer. Beberapa yang terkenal dari kelompok-kelompok ini adalah Unit Kesatria Penegak Pancasila, Bela Negara, Pemuda Keamanan Desa, dan Lasykar Rakyat. Sebelum bergerak, mereka ini mendapatkan training militer, lalu dipersenjatai dengan pisau, lembing, dan parang, kemudian diperintahkan untuk memburu para pemberontak atau para pendukung GAM. Bila masyarakat menolak atau gagal menunjukkan komitmen dalam membasmi musuh dengan cara mengidentifikasi, menangkap ataupun membunuh, biasanya akan berakhir dengan hukuman oleh militer termasuk penganiayaan didepan publik, penangkapan, dan penembakan. Strategi lain yang juga dipergunakan militer adalah merekrut penduduk lokal untuk menjadi mata-mata dan informan bagi militer. Istilah resmi untuk mereka ini adalah Tenaga Pembantu Operasi (TPO). Masyarakat Aceh menyebut hal ini sebagai cu’ak. Maknanya kira-kira sama dengan pengkhianat. Salah satu akibat dari hal ini adalah tersebarnya atmosfir ketakutan dan saling curiga antar penduduk serta kecenderungan penduduk untuk diam dan berbicara yang baik-baik saja didepan orang lain.

Dalam hal melakukan pembunuhan dan penganiayaan terhadap penduduk sipil Al Chaidar mencatat berbagai kasus yang tergolong sebagai “supersadistis”.[8] Menurut Al Chaidar:

Dari 680 kasus orang hilang dan tindak kekerasan plus pemerkosaan yang berhasil dihimpun Forum Peduli Hak Asasi Manusia (FP-HAM) setelah diklarifikasi terdapat sedikitnya 30 kasus yang berkualifikasi supersadistis. Sebagaimana aksi kebiadaban tentara sekuler dimanapun didunia ini—seperti yang dilakukan tentara Nazi pada Perang Dunia II, tentara Serbia terhadap etnis Bosnia dan Albania—dimana korban sipil biasanya ditelanjangi dan diperkosa secara bergiliran diantara tentara-tentara yang gagah lainnya hingga pada model penyiksaan dan penindasan dimana laki-laki sipil dilarang untuk bersikap religius dalam menghadapi kematinannya.[9]

Beberapa contoh yang dimaksud Al Chaidar dengan kasus-kasus yang supersadistis itu adalah: korban digorok lalu rumahnya dibakar; korban diikat, ditarik ramai-ramai, lalu ditembak; korban diganduli batu, lalu dibenam ke sungai; korban yang sudah ditembak dan dimakamkan oleh masyarakat, namun tentara memerintahkan dibongkar kembali untuk diambil fotonya untuk dijadikan contoh bagi masyarakat yang berani melawan; penculikan, yang sampai dengan 13 Juli 1998 telah terjadi 137 kasus; penduduk dijadikan tameng saat tentara bertempur melawan GPK; tangan dibedah, lalu ditetesi air cuka; kepala korban dikuliti didepan anaknya; korban ditembak didalam sumur; seorang suami diusir dari rumahnya, lalu istrinya disetrum; korban dipaksa bersanggama dengan tahanan wanita; dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya.[10]

Seperti telah dikemukakan dalam bagian pengantar tulisan ini, penerapan DOM di Aceh selama lebih kurang sepuluh tahun telah menghasilkan statistik korban yang dapat menggambarkan betapa kekerasan yang terjadi begitu brutal. Belum lagi bila kita menghitung korban dalam pengertian non fisik dan non manusia seperti hancurnya sendi-sendi dan infrastruktur sosial dan budaya masyarakat Aceh. Dari perspektif hak-hak asasi manusia, apa yang dilakukan militer Indonesia terhadap rakyat Aceh telah memenuhi syarat-syarat untuk disebut sebagai kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity). Dalam Nuremberg Charter of 1945, pada pasal 6(c), kejahatan atas kemanusiaan di definisikan sebagai:

… pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran dan pengasingan, dan perilaku tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap penduduk sipil, sebelum ataupun selama perang berlangsung, atau penyiksaan atas dasar politik, ras,ataupun relijius dalam kaitannya dengan suatu bentuk kejahatan dalam yurisdiksi suatu pengadilan, tanpa memperhatikan apakah pelanggaran itu bertentangan dengan hukum negara pelaku atau tidak.[11]

Sedangkan dalam International Criminal Court (ICC) statute dinyatakan bahwa kejahatan atas kemanusiaan adalah satu atau lebih dari tindakan-tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari penyerangan dan ancaman secara sistematis dan meluas terhadap penduduk sipil, dengan kesadaran pengetahuan yang memadai atas penyerangan itu.[12]

Sejarah, Doktrin, dan Citra Diri Militer Indonesia

Doktrin adalah sesuatu yang sangat esensial dalam dunia militer atau tentara, “karena dari doktrinlah mengalirnya pengaturan posisi, fungsi, dan peran suatu tentara.”[13] Doktrin TNI, Dwifungsi, menurut Salim Said, bukan hanya menjelaskan posisi, fungsi, dan peran TNI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tapi sekaligus juga menunjukkan citra diri TNI serta cara TNI melihat masyarakat sekelilingnya.[14] Namun doktrin bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja melainkan memiliki akar sejarah dan politik yang terkait dengan perjalanan suatu bangsa.

Doktrin Dwifungsi menyatakan bahwa ABRI atau TNI, sejak perang kemerdekaan di tahun 1940-an telah memainkan peranan yang sangat penting sebagai pelopor dan penjaga pembangunan bangsa (nation-building), dan oleh karena itu memiliki hak penuh untuk secara aktif terlibat dalam peran-peran sosial politik selain dibidang pertahanan dan keamanan. Tentara Indonesia memandang dirinya sebagai pengawal revolusi dan negara.[15] Dalam doktrin Tri Ubaya Cakti 1965, TNI digambarkan sebagai “anak revolusi”, tentara rakyat, tentara pejuang, dan kekuatan progresif revolusioner yang akan selalu membela dengan gigih hingga titik darah penghabisan: Sang Saka Merah Putih, bhineka tunggal ika, dan Pancasila, MANIPOL/USDEK, dan Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno dengan ajaran-ajarannya.[16] Doktrin ini, karena dibuat masih dalam masa Soekarno tampak juga mengadopsi sejumlah slogan kiri yang memang biasanya sering digunakan oleh sang presiden. Versi doktrin Tri Ubaya Cakti ini menekankan bahwa TNI adalah kekuatan sosial politik yang sekaligus juga kekuatan militer. Dan sebagai bagian dari kekuatan progresif revolusioner ia merupakan alat revolusi, demokrasi, dan aparatur negara.

Setelah jatuhnya rejim Soekarno, tentara mendirikan Orde Baru. Keputusan untuk mendirikan Orde Baru ini diawali di seminar Angkatan Darat kedua pada bulan Agustus 1966 di Bandung. Keputusan tentara untuk mendirikan dan mendukung rejim Orde Baru didasarkan pada asumsi bahwa tentara memiliki hak untuk mengatur persoalan-persoalan non militer, suatu pandangan yang sebelumnya telah diinstitusionalisasi sebagai doktrin dwifungsi. Doktrin Tri Ubaya Cakti kemudian di modifikasi, slogan-slogan kirinya dibersihkan, dan posisi tentara dibidang politik makin dipertegas dan diperkuat. Tentara menampilkan dirinya sebagai pelopor perjuangan kebangsaan dengan menyatakan bahwa segenap harapan rakyat Indonesia telah digantungkan di pundak mereka dan karena itu tentara tidak punya pilihan lain selain daripada melaksanakan kepercayaan rakyat itu dengan jalan membangun pemerintah yang kuat dan stabil.[17]

Doktrin Tri Ubaya Cakti ini terdiri atas empat doktrin operasional. Pertama, Doktrin Pertahanan Darat Nasional yang mengatur penggunaan tentara diberbagai operasi militer dan menyatakan bahwa tugasnya adalah untuk berpartisipasi dalam menyelesaikan revolusi Indonesia. Kedua, Doktrin Kekaryaan yang menyatakan bahwa tentara adalah kelompok fungsional yang akan selalu mengambil peran aktif didalam pembangunan kehidupan nasional serta melindungi kepentingan nasional. Ketiga, Doktrin Pembinaan yang menganalisa perkembangan masyarakat melalui kesiapan, ketahanan ideologi, agama, persoalan sosial dan kultural serta persoalan sosial militer. Dan keempat, Doktrin Perang Rakyat Semesta yang mengimplementasikan ketiga doktrin sebelumnya. Doktrin Tri Ubaya Cakti ini, pada bulan Nopember 1966 diubah menjadi Catur Darma Eka Karma (CADEK) dengan perubahan substansi yang tidak signifikan. CADEK inilah yang kemudian menjadi doktrin ABRI secara keseluruhan.

Pada tahun 1988 doktrin CADEK diperbaharui kembali. CADEK kembali menyatakan dwifungsi ABRI sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sosial politik. Dinyatakan juga bahwa hal ini didasarkan pada tujuan utama ABRI yakni mendukung perjuangan mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[18] Sebagai kekuatan sosial politik ABRI memandang dirinya sebagai kekuatan yang keperansertaannya menentukan tujuan, haluan, dan politik negara dan sebagai pelopor, dinamisator, serta stabilisator didalam setiap upaya mengisi kemerdekaan bangsa.[19]

Sementara itu, didalam dokumen Hakekat Kekaryaan ABRI dinyatakan bahwa ABRI adalah kelompok fungsional karena kontribusinya yang demikian besar dalam perjuangan kemerdekaan dan partisipasinya dalam membangun masa depan.[20] Sedangkan dalam dokumen Darma Pusaka 45 dinyatakan bahwa identitas TNI adalah memperjuangkan aspirasi rakyat. Hal ini berbeda dengan kepentingan dan cara kerja kelompok lainnya (baca: sipil) yang tidak mendukung kepentingan nasional secara keseluruhan.[21] Menurut ABRI, peran-perannya didalam menyelesaikan masa-masa kritis telah diakui oleh masyarakat. Segala konsep dan kebijakan ABRI selalu menguntungkan rakyat karena didesain bukan hanya untuk ABRI tapi untuk seluruh masyarakat.

Penampilan citra diri tentara seperti telah diuraikan diatas menunjukkan bahwa tentara meyakini dan menampilkan dirinya -karena sejarah, kemampuan dan komitmennya-sebagai elemen yang paling terpercaya dan selalu siap untuk menjaga dan membangun bangsa ini. Hal ini kemudian berpengaruh kepada bagaimana tentara memandang lingkungannya baik itu menyangkut masyarakat lainnya yakni sipil maupun dalam hal merumuskan dan memandang apa yang dimaksud dengan ancaman (threats).

Salim Said menyatakan bahwa salah satu hal yang paling konsisten dalam pemikiran TNI, selain kebencian kepada liberalisme, adalah sikap tidak percaya kepada sipil.[22] Menurut Salim, Panglima Besar Soedirman kurang percaya kepada politisi sipil baik yang di pemerintahan maupun yang di oposisi. Untuk itu beliau melibatkan diri dalam politik dengan tujuan menjaga otonomi tentara terhadap usaha “rebutan tentara” oleh para politisi. Nasution kecewa kepada kekuatan politik yang dianggapnya mencampuri urusan internal militer sementara urusan mereka untuk bekerjasama membentuk kabinet saja gagal. Jenderal Ali Moertopo menilai golongan sipil masih belum bersih dari elemen subversif sehingga belum pantas diberi kepercayaan mengelola negara.

Sementara itu Jendral Mas Isman menyatakan bahwa kegagalan demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin di tahun 1950-an dan awal 1960-an disebabkan oleh kegagalan mengintegrasikan kekuatan politik dan militer. Dan hal ini disebabkan oleh partai-partai politik yang memisah-misahkan pemimpin politik dan pemimpin tentara.[23] Hidajat Moekmin, mantan Sekretaris Panglima TNI (1966-1969) menyatakan bahwa upaya sekelompok sipil di era demokrasi liberal untuk mendegradasi tentara menjadi hanya sekedar alat negara merupakan suatu penghinaan bagi TNI.[24] Dokumen hakekat kekaryaan ABRI juga menyatakan bahwa politik yang telah membawa Indonesia kepada Perang Kemerdekaan I (21 Juli 1947), peristiwa pemberontakan PKI di Madiun pada September 1948, dan Perang Kemerdekaan II (19 Desember 1948) adalah kegagalan total para politisi pada masa itu. ABRI lah yang kemudian harus menanggung akibat dari kegagalan para politisi itu.[25] Pewarisan nilai-nilai 45, menurut tentara adalah juga hanya bisa dilakukan dengan baik oleh mereka sedangkan masyarakat tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk itu.[26] Lebih jauh Salim Said menyatakan: “… ketika generasi muda tentara tampil, merekapun tiba pada kesimpulan yang sama dengan para senior mereka, melihat sipil sebagai ‘masih kurang memiliki disiplin serta mengandung potensi yang dapat mengancam persatuan’.”[27]

Sinyalemen dari Salim Said ini terlihat memperoleh pembenarannya manakala kita mencermati pandangan ABRI, ketika memandang abad ke-21 pun masih menampakkan kecemasan dan ketidakpercayaan kepada masyarakat sipil. Dalam dokumen penjelasan mengenai Empat Paradigma Baru ABRI menyatakan sebagai berikut:

Namun melihat kondisi faktual masyarakat kini yang memberi kesan dapat mengendurkan wawasan kebangsaan, kurang memiliki disiplin serta mengandung potensi yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, kiranya masih banyak memberi peluang bagi sumbangan peran ABRI dalam kehidupan bernegara dan berbangsa agar transformasi masyarakat dapat dikendalikan dengan baik, dan masyarakat Indonesia diantar dengan selamat menuju terbentuknya masyarakat madani.[28]

Citra diri tentara yang memandang dirinya sebagi kelas yang lebih tinggi daripada masyarakat lainnya ini menjadikan tentara kemudian memandang sipil dalam dua kategori yakni sebagai junior partner atau sebagai sumber ancaman. Menurut tentara, ada tiga jenis ancaman yang bersumber dari dalam masyarakat.[29] Ketiga ancaman itu adalah: kelompok yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lainnya; kelompok tertentu yang memiliki interpretasi yang salah mengenai Pancasila; dan pengaruh ideologi lainnya dalam masyarakat yang akan membahayakan Pancasila dan stabilitas nasional. Secara politik terdapat tiga sumber ancaman dalam masyarakat yakni: elemen masyarakat yang mencoba untuk mengganti konstitusi demi kepentingan kelompoknya; elemen masyarakat yang menggunakan kekuatan politik untuk mencapai tujuannya yang membahayakan persatuan dan integrasi nasional; dan terdapatnya sejumlah masyarakat Indonesia yang belum memiliki pendidikan politik yang baik.

Dalam doktrin Wawasan Nusantara, tentara meletakkan kegiatan subversif sebagai ancaman utama terhadap keamanan nasional yang mungkin dapat meluas sebagai ancaman penetrasi ideologi asing.[30] Kegiatan subversif dapat berbentuk anti Pancasila dan anti UUD 1945. Sedangkan para pelaku kegiatan ini didefinisikan secara samar sehingga tentara dapat menginterpretasikannya sesuai dengan kebutuhan. Labelisasi berbagai kelompok masyarakat oleh tentara sebagai KGB (komunis gaya baru), OTB (organisasi tanpa bentuk), GPK (gerakan pengacau keamanan), ekstrim kanan, dan kelompok “liberal Barat” adalah contoh-contoh bagaimana tentara menghadapi masyarakat yang tidak bersesuaian dengan haluan militer. Dalam bentuk yang lebih kongkrit seperti ancaman separatis tentara melakukan kegiatan yang lebih kongkrit yakni penumpasan bersenjata.

Basis metodologi tentara menghadapi ancaman nasional adalah doktrin Hankamrata (pertahanan keamanan rakyat semesta). Doktrin ini memberi legitimasi kepada tentara untuk menggunakan masyarakat sipil sebagai komponen operasi militer. Dalam operasi penumpasan pemberontakan di Sumatera Tengah dan Sulawesi Utara pada tahun 1958 misalnya, tentara berkesimpulan bahwa operasi militer tidak akan sukses kalau tidak dengan dukungan masyarakat. Doktrin ini kemudian dirumuskan dalam Seminar Angkatan Darat tahun 1960 dan menjadi justifikasi keberadaan Komando Teritorial diseluruh wilayah Indonesia.

Dalam doktrin Kewaspadaan Nasional, mayarakat diwajibkan untuk selalu mewaspadai ancaman terhadap bangsa, utamanya yang berasal dari dalam negeri. Guna melaksanakan doktrin ini, sejak tahun 1978 tentara menyelenggarakan Penataran Kewaspadaan Nasional (Tarpadnas), yakni suatu program indoktrinasi yang pada intinya berupaya untuk memelihara justifikasi intervensi militer dibidang politik.[31] Semenjak tahun 1988, kata kewaspadaan menjadi kata standar untuk membenarkan semua operasi militer sebagai respon terhadap tantangan dan ancaman terhadap negara. Semenjak era 1990-an, kewaspadaan diperluas dengan memasukkan pengawasan militer terhadap aktivitas berbagai kelompok berikut.[32] Pertama, organisasi yang ragu-ragu dalam menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas di Indonesia. Kedua, generasi keempat dari komunis yang menggunakan gaya baru dalam taktik komunisnya melalui penggunaan metode-metode konstitusional dan jaringan intelektual dalam upayanya mendepolitisasi militer. Ketiga, kelompok ekstrimis yang menggunakan cara-cara ekstra konstitusional untuk mencapai tujuan politiknya melalui eksploitasi unsur-unsur kesukuan dan separatis. Keempat, kelompok yang menginginkan demokrasi liberal yang menyebarkan fahamnya melalui serangkaian forum dan diskusi akademik, seminar, dan media massa.

Citra Diri Militer dalam Praktek: Kekerasan Militer di Aceh

Dalam bahasannya mengenai kekerasan militer atas sipil selama hampir seratus tahun (1890-1988) di Kongo dan Zaire, Musambachime melakukan penelusurannya pada tiga hal.[33] Ketiganya adalah unsur citra diri tentara sebagai alat kekuasaan negara melalui instrument kekerasan, unsur impunity yang dimiliki tentara, dan kewenangan penuh (full authority) yang dimiliki tentara dalam melaksanakan tugas-tugas kekerasannya. Militer, dalam analisa Musambachime diletakkan dalam kerangka relasi sosial kekuasaan. Dengan mengutip Frantz Fanon ia menyatakan bahwa faktor penentu dalam relasi sosial kekuasaan adalah superioritas kekuatan fisik (physical force). Untuk memelihara tatanan sosial (sosial order) suatu actor atau organisasi politik membangung suatu kerangka territorial otoritas pemaksa atau kekerasan (coercive) melalui penggunaan kekuatan fisik.

Penggunaan kekerasan (violence) adalah instrument dari kekuasaan. Definisi kekuasaan oleh Max Weber bahwa “satu atau sejumlah aktor dalam suatu hubungan sosial akan selalu memaksakan keingingannya tanpa mempedulikan adanya resistensi” dapat membantu kita memahami proses represif dan manipulatif dari kekuasaan dan kondisi dimana kepatuhan diciptakan melalui serangkaian ancaman melalui penggunaan kekerasan.[34] Kekerasan sebagai instrumen dari kekuasaan dijalankan oleh militer—salah satu instrumen paling efisien dalam membangun pengaruh penguasa.

Militer di Kongo atau Zaire digelari sebagai “Bula Matare” (penghancur batu) oleh penduduk Afrika untuk menggambarkan betapa brutalnya administrasi dan perlakuannya terhadap penduduk di Kongo.[35] Pada mulanya militer ini adalah tentara penjajah Belgia, namun setelah kemerdekaan, perilaku brutal ini tetap dilanjutkan oleh tentara Kongo. Dalam menjaga tatanan sosial, memperkuat otoritas kekuasaan, dan melindungi kepentingan penguasa kolonial atau penguasa Kongo, militer melakukan intimidasi, pemaksaan terbuka, dan kekerasan.

Negara Kongo dibangun di atas fondasi kekerasan dengan hak untuk menggunakannya manakala penguasa memerlukannya. Hal ini memberikan basis bagi “impunity” militer yang menjalankan hak penggunaan kekerasan itu. Militer kemudian diindoktrinasi guna membangun citra diri mereka. Hasilnya seperti di sampaikan oleh Jenderal Molongya Mayikusa, Menteri Pertahanan Kongo pada tahun 1974 adalah; “the soldier considered himself an elite, while viewing civilians as nothing but ‘savages’ (tentara memandang dirinya sebagai kelompok elite dan pada saat yang sama memandang sipil hanyalah sebagai tidak beradab).[36] Impunity dan citra diri ini menjadi basis tentara untuk melakukan berbagai tindak kekerasan terhadap sipil. Dan tentara tidak perlu takut dengan segala tindakannya itu karena ia mendapatkan pembenaran dan otoritas penuh dari penguasa. Seorang perwira tentara Kongo ini menyatakan bahwa tentara “must have carte blanche or the native would not respect the state” (tentara harus memiliki otoritas penuh, kalau tidak penduduk tidak akan menghormati negara).[37]

Citra diri, sikap dan perilaku tentara Kongo yang melakukan kebrutalan terhadap penduduk sipil ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh militer Indonesia. Kalau di Kongo penguasa yang menggunakan tentara itu adalah colonial atau dictator yang bukan dari kalangan militer, di Indonesia tentara itulah yang menjadi penguasa negara. Menurut Robert Cribb, disamping sikap tentara yang memandang rendah sipil sebagai sumber kekerasan, tentara Indonesia juga memiliki sumber impunity yakni legitimasi perilaku kekerasan tentara pada tahun 1965 yang kemudian menjadi basis berdirinya negara Orde Baru.[38] Sebagaimana diketahui bahwa hasil dari ketegangan politik pada tahun 1965 adalah kemenangan tentara, dan sejak 1966 tentara adalah kekuatan yang unggul dan agung. Tentara harus dihormati dimana-mana dan seakan bebas melakukan apa saja. Salah satu contoh kecil adalah anekdot ataupun joke terhadap apa itu Orba yang di plesetkan menjadi “Ora Bayar” untuk menunjuk kepada perilaku tentara yang lebih sering tidak membayar bila, misalnya naik bus, ataupun sering mengambil apapun yang mereka inginkan dari pasar.[39]

Selain basis citra diri dan impunity, tentara Indonesia memiliki juga basis carte blanche yakni kewenangan penuh dan pembenaran penuh atas segala kebijakannya. Suharto, penguasa Orde Baru dengan jelas mengisyaratkan hal ini:

Apapun yang dilakukan oleh ABRI telah sesuai dengan aturan prosedur dan aturan main yang kita telah putuskan bersama. ABRI diwakili di MPR dan DPR, baik di pusat maupun di daerah berdasarkan aturan yang ada. ABRI menjadi pegawai negeri adalah berdasarkan kepatuhan dan kebutuhan. Anggota-anggota ABRI menjadi gubernur hingga kepala desa adalah juga berdasarkan kehendak rakyat. Apalagi, mereka itu menerima tugasnya atas dasar idealisme perjuangan, bukan karena keinginan memperoleh jabatan, bukan pula karena keinginan untuk menumpuk kekuasaan demi kepentingan ABRI.[40]

Posisi tentara Indonesia dengan citra diri, impunity, dan carte blanche nya itu ditingkatan praktek menuntut kepatuhan seluruh elemen sipil. Deference (perasaan hormat dan tunduk) dan timidity (rasa takut) adalah kelakuan yang benar yang harus ditunjukkan oleh sipil ketika berhadapan dengan kekuasaan militer.[41] Sementara tentara akan terus menerus menjaga dan membina rakyat, bangsa serta kesatuan bangsa melalui berbagai programnya, termasuk melalui jaringan komando territorial diseluruh Indonesia, maka ketidakpatuhan tertentu akan mendapatkan perlakuan khusus dari tentara. Perlakuan khusus itu, berdasarkan analisa tentara dapat bervariasi mulai dari pembinaan persuasif sampai dengan penumpasan lewat operasi militer. Dan hal ini didukung oleh training dan peralatan yang makin canggih yang dimiliki tentara dimana mereka memiliki kapasitas yang makin canggih pula untuk mendatangkan kerusakan yang lebih cepat dan lebih besar didalam masyarakat. Apa yang terjadi di Aceh dimata tentara adalah perilaku sipil dan elemen masyarakat lainnya yang telah menghina citra diri tentara dan dari segi tugas dan kewenangan tentara telah mendatangkan ancaman atas persatuan dan kesatuan bangsa—suatu hal yang sudah menjadi harga mati bagi tentara. Sebagai junior partner, seharusnya rakyat Aceh, dimata tentara harus mengikuti dan mematuhi apa yang telah digariskan—dengan jalan mengisi dan melaksanakan pembangunan dibawah bimbingan tentara. Yang terjadi adalah sebaliknya, alih-alih mengisi pembangunan negara, elemen-elemen rakyat Aceh malah mengancam posisi tentara dan persatuan serta kesatuan bangsa. Tentara datang ke Aceh dengan misi suci untuk mendidik masyarakat Aceh, tentu saja dengan cara tentara.

Secara lebih analitik, ada tiga hal yang dapat dijadikan alasan kuat tentara untuk melakukan perlakuan maksimal atas Aceh. Pertama adalah gerakan separatis, dalam hal ini GAM, adalah sesuatu yang tidak dapat ditolerir sedikitpun karena itu terkait langsung dengan ideologi tentara untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa disamping ia memberikan ancaman langsung atas keamanan dan stabilitas nasional. Kedua, Aceh adalah daerah yang dikenal kuat dengan ke-Islamannya. Islam dijaman Orde Baru, terutama apa yang dikenal sebagai Islam politik, dari segi doktrin TNI mengenai ancaman termasuk dalam kategori ektrim kanan sebagai pasangan dari ekstrim kiri. Kesadaran akan ancaman ini ditanamkan secara terus menerus dan baik oleh tentara melalui berbagai instrument pendidikan dan operasinya. Salah satu materi dalam kursus Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas)—salah satu lembaga elite tentara—adalah materi mengenai EKI (ekstrim kiri) dan EKA (ekstrim kanan).[42] Dari segi ini, potensi ekstrim kanan dalam gerakan masyarakat Aceh adalah besar. EKI dan EKA termasuk dua hal yang tidak ada toleransinya dalam kamus tentara. Ketiga, sejarah Aceh yang penuh dengan perlawanan termasuk pemberontakan dapat dipandang sebagai potensi untuk tidak mematuhi tentara. Dalam kerangka ini, masyarakat Aceh perlu mendapatkan pendidikan politik yang lebih intensif dimata tentara. Kalau mereka tidak mau dan tidak mampu menjadi junior partner yang baik maka tidak ada jalan lain kecuali ditumpas.

Konsekuensi dari kebijakan dan atau tindakan yang memperoleh pembenaran secara histories dan doctrinal-ideologis ini adalah tentara seakan-akan buta atau membutakan diri terhadap efek yang tidak produktif dari kekerasan yang mereka lakukan. Efek yang tidak produktif itu adalah berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia atas masyarakat Aceh. Dan harga dari pelanggaran itu demikian mahal, baik dari segi tentara maupun dari segi masyarakat Aceh dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Kesimpulan

Tulisan ini, tanpa menafikkan kemungkinan adanya factor individualitas baik dalam kepemimpinan maupun dalam penugasan dilapangan, telah berusaha menelusuri dan menjelaskan kekerasan atau kebrutalan yang dilakukan tentara atas masyarakat sipil di Aceh dari segi perspektif tentara mengenai dirinya, mengenai masyarakat, dan mengenai ancaman (threats). Mengikuti penjelasan dari Robert Cribb, tulisan ini menghubungkan perilaku tentara dengan doktrin dan persepsi mereka. Problem yang muncul di Aceh dimata tentara menunjukkan dua hal. Pertama, sebagai masyarakat mereka seharusnya mendudukkan tentara pada posisi yang dihormati dan dipatuhi. Mereka seharusnya menjadi junior partner yang baik yang akan dibimbing oleh tentara menuju kehidupan berbangsa yang lebih baik. Rakyat Aceh menunjukkan hal yang sebaliknya. Kedua, ancaman pemberontakan dan separatisme adalah harga mati bagi tentara. Tidak ada kata kompromi disini, karena ia menyangkut salah satu elemen dalam doktrin dan ideologi tentara. Disamping itu potensi ancaman terlihat lebih besar manakala tentara melihat bahwa Aceh adalah daerah yang bisa menjadi tempat subur bagi gerakan ekstrim kanan. Faktor sejarah perlawanan Aceh kemudian menjadi penguat bagi sinyalemen tentara tersebut. Oleh karena itulah tentara melakukan perlakuan maksimal terhadap rakyat Aceh, yang berdasarkan doktrin dan persepsi tentara, masih merupakan bagian dari tugas mereka untuk mendidik masyarakat Indonesia di Aceh. Konsekuensi dari hal tersebut kemudian adalah tindakan-tindakan yang brutal yang telah terkategori sebagai kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity).

Penulis, adalah Mantan Ketum PB PII, Mahasiswa di Ohio University dengan program Doktor Sosial dan Politik Otonomi Daerah

Catatan * Penulis mengucapkan terimakasih kepada Pak Salim Said yang telah membolehkan manuskripnya yang berjudul “Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi, Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia: 1958-2000,” untuk dipergunakan sebagai salah satu sumber utama tulisan ini.

[1] Lihat Denys Lombart, Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), terj. Oleh Winarsih Arifin (Jakarta: Balai Pustaka, 1986).
[2] Michael Malley, “Region: Centralization and Resistance,” dalam Donald K. Emmerson, Indonesia Beyond Suharto, Polity, Economy, Society, Transition, (New York: M.E. Sharpe, 1999), hlm. 94.
[3] Gambaran mengenai pelanggaran hak-hak asasi manusia oleh militer di Aceh selama DOM dapat ditemukan pada berbagai tulisan mengenai Aceh. Lihat misalnya Geoffrrey Robinson, “Rawan is as Rawan Does: The Origin of Disorder inNew Order Aceh”, in Ben Anderson, ed., Violence and the State in Suharto’s Indonesia, (Itacha, NY: Southeast Asia Publications, 2001) hlm. 214;
Al Chaidar (et.al.), Aceh Bersimbah Darah, Mengungkap Penerapan Status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh 1989-1998 (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1998) hlm. 1-20; Otto Syamsuddin Ishak (et.al), Suara Dari Aceh (Jakarta: YAPPIKA, 2001) hlm. 26-35; Geoff Simon, Indonesia, The Long Oppression (London: Macmillan Press Ltd., 2000); Human Right Watch Report (htto://www.hrw.org/reports/2001/aceh/indaceh0801-02.htm); Bambang Widjajanto dan Douglas Kammen, The Structure of Military Abuse (http://www.insideindonesia.org/edit62/dom2.htm); Tapol Indonesia, Crisis in Aceh Threaten Indonesian Unity (http://tapol.gn.apc.org/r991128aceh.htm).
[4] Tentang kontrol Suharto atas militer ini antara lain dinyatakan oleh Salim Said dan Ulf Sundhaussen. Lihat Salim Said, Militer Indonesia dan Politik, Dulu, Kini dan Kelak (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001); Salim Said, “Suharto’s Armed Forces, Building a Power Base in New Order Indonesia, 1966-1998,” Asian Survey Vol. XXXVIII, No. 6, June 1998; Ulf Sundhaussen, “Indonesia’s New Order: A Model for Myanmar?” Asian Survey Vol. 35 No. 8 (August 1995).
[5] Michael Malley, loc.cit.; Syarifudin Tippe, Aceh di Persimpangan Jalan, (Jakarta: Cidesindo, 2000), hlm. 34.
[6] Sri Mastuti, et.al., Menggeliat dan Bangkit (Jakarta: Pusat Studi dan Pengembangan Kawasan, 2000), hlm. 67.
[7] Geoffrey Robinson, Rawan is Rawan…, op.cit. Juga dapat dilihat di Laporan Amnesty International, 2 Agustus 1993, “’Shock Theraphy’ Restroing Order in Aceh, 1989-1993,
http://acehnet.tripod.com/shock.htm
[8] Al Chaidar, Op.cit., hlm. 112-150.
[9] Ibid., hlm. 112.
[10] Ibid., hlm. 112-150.
[11] Darryl Robinson, “Defining Crimes against Humanity at the Rome Conference,” American Journal of International Law, Vol. 93, Issue 1 (Jan, 999).
[12] Ibid.
[13] Salim Said, Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi: Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia: 1958-2000, akan terbit, hlm. 4.
[14] Ibid.
[15] Ahmad Yani, dalam Ibid., hlm. 42.
[16] Ibid., hlm. 49.
[17] Seskoad, Doktrin Perjuangan TNI-AD “Tri Ubaya Cakti”, (Djakarta: Angkatan Darat, 1966), hlm. 18.
[18] Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Cadek 1988 (Jakarta: Markas Besar ABRI, 1988), hlm. 43.
[19] Ibid.
[20] Departemen Angkatan Darat, Hakekat Kekaryaan ABRI/TNI-AD Bukan Militerisme (Jakarta, 1967), hlm. 28.
[21] Departemen Pertahanan Keamanan, “Darma Pusaka 45, Hasil Seminar TNI AD Ke III”, Disahkan dengan Keputusan Men Hankam/Pangab Nomor: Skep/B/911/XI/1972, 10 Nopember 1972.
[22] Salim Said, Tumbuh dan Tumbangnya…op.cit., 149-151.
[23] Mas Isman, Peranan ABRI dalam Pembinaan Kehidupan Demokrasi dan Hubungannya dengan Kehidupan Kepartaian di Indonesia (Jakarta: Yayasan Mas Isman, 1992), hlm. 28-29.
[24] Hidajat Mukmin, PKI Versus Perang Wilayah, Penilaian Kembali Suatu Doktrin, hlm. 8-9.
[25] Departemen Angkatan Darat, Hakekat…op.cit., hlm. 10.
[26] Darma Pusaka 45, op.cit., hlm. 7.
[27] Salim Said, Tumbuh dan Tumbangnya…op.cit., p. 150.
[28] Ibid., hlm. 149.
[29] Naskah Sementara Buku Petunjuk ABRI Tentang Operasi Sosial Politik, Surat Keputusan Panglima ABRI No. Skep/759/VIII/1990, 15 Agustus 1990.
[30] Lihat Jun Honna, “Military Doctrine and Democratic Transition: A Comparative Perspective on Indonesia’s Dual Function and Latin American National Security Doctrines,” makalah yang diterbitkan oleh The Department of Political and Sosial Change, Research School of Pacific and Asian Studies, The Australian National University, 1999, hlm. 11-12.
[31] Jun Honna, “Military Ideologi in Response to Democratic Pressure During the Late Suharto Era: Political and Institutional Contexts,” dalam Benedict Anderson (Ed.), Violence and the State in Suharto’s Indonesia (Itacha, New York: Southeast Asia Program Publication, 2001), hlm. 56.
[32] Ibid., hlm. 63.
[33] Mwelwa C. Musambachime, “Military Violence Against Civilians: The Case of Congolese and Zairean Military in the Pedicle 1890-1988,” The International Journal of African Historical Studies, Vol. 23, Issue 4 (1990), hlm. 643-664.
[34] Ibid., hlm. 643.
[35] Ibid., hlm. 645.
[36] Ibid., hlm. 648.
[37] Ibid., hlm. 650.
[38] Robert Cribb, “From Total People’s Defence to Massacre: Explaining Indonesian Military Violence in East Timor”, paper tanpa tahun.
[39] Ibid., hlm. 11.
[40] Dikutip dari Harold Maynard, “Indonesian Military Elite Role Perception”, dalam Amos Perlmutter and Valerie Plave Bennet (Eds.), The Political Influence of the Military. A Comparative Reader (New Haven and London: Yale University Press, 1980), hlm. 430.
[41] Robert Cribb, loc.cit.
[42] Wawancara dengan Salim Said, di Athens Ohio, 24 Mei 2002
 

Mohammad Roem : Secara Substansial Negara Islam itu Ada

Sejarah Oleh : Redaksi 28 Apr 2003 - 8:52 am

Dalam catatan sejarah nasional, nama tokoh ini sangat mencuat di akhir tahun 1940-an. Waktu itu Mr Mohammad Roem diamanahi oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai ketua tim juru runding RI dalam perundingan dengan Belanda. Tim juru runding dari Belanda diketuai Van Royen. Akhirnya perundingan yang berlangsung pada tanggal 14 April 1949 itu diberi nama “Perundingan Roem-Royen”.

Mohammad Roem lahir di Desa Klewongan, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah pada tanggal 16 Mei 1908. Ia lahir sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Djulkarnaen Jayasasmito, ibunya bernama Siti Tarbiyah.

Pendidikannya dimulai di Volkschool (Sekolah Rakyat, sekolah dasar di masa Belanda) di desa kelahirannya. Ia kemudian melanjutkan ke HIS (Holland Inlandsche School) Temanggung sampai kelas III, dan diteruskan ke HIS Pekalongan. Dan tamat dari HIS Pekalongan pada tahun 1924.

Semangat perjuangannya mulai bersemi sejak di HIS. Kisahnya bermula tatkala seorang gurunya yang berkebangsaan Belanda menghardik Roem, “Zeg, Inlander!”. Dasar pribumi, begitu kira-kira artinya.

Roem sangat tersinggung dihardik demikian. Sebagai orang pribumi ia merasa dirinya dihina dan dilecehkan. Ia kemudian teringat sejumlah papan larangan di gedung-gedung bioskop, di rumah makan, dan lain-lain tempat yang mengharamkan orang pribumi masuk.

Penghinaan itu belum selesai. Diwaktu istirahat ada seorang murid Belanda yang mendorong-dorong tubuh Roem sambil mengolok-olok, “Inlander! Inlander!” Akibat dorongan itu Roem jatuh terjerembab. Tapi ia segera bangkit lalu dikejarnya anak Belanda itu. Setelah tertangkap ditinjunya perut si anak bule itu hingga muntah-muntah.

Peristiwa itu sangat membekas pada diri Roem. Ia kemudian bertekad untuk memerdekakan bangsanya agar tak lagi dihina bangsa asing. Untuk mewujudkan niatnya itu sambil bersekolah Roem kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).

Mula-mula Roem bersemangat di kelompok pemuda itu. Namun belakangan ia tidak betah berada di lingkungan Jong Java, karena aspirasi Islam tidak tertampung di situ, ia bersama Syamsuridjal dan beberapa tokoh lainnya memilih keluar, lalu pada tahun 1925 mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB) atau Himpunan Pemuda Islam.

Dalam JIB ini Roem dipercaya menjadi salah seorang anggota pimpinan pusatnya. Kemudian pada tahun 1930 ia menjadi ketua Panitia Kongres JIB di Jakarta. Ketika JIB membentuk kepanduan (Natipij) ia menjadi ketua umumnya.

Pada tahun 1930 Roem tamat dari Algemene Middlebare School (AMS) atau sekolah menengah atas. Ia kemudian melanjutkan sekolah ke Rechts Hoge School (RHS) atau Sekolah Tinggi Hukum. Dari perguruan tinggi tersebut ia berhasil meraih gelar Mester in de Rechten (Mr) atau Sarjana Hukum pada tahun 1939. Skripsinya tentang Hukum Adat Minangkabau.

Sambil kuliah dan mengurus JIB, Roem aktif di Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Pada tahun 1932 ia menjadi ketua Panitia Kongres PSII di Jakarta. Ketika terjadi kemelut di PSII, ia bersama-sama Haji Agus Salim keluar dari partai tersebut dan mendirikan PSII-Penyadar. Dalam partai baru tersebut ia menjadi Ketua Komite Centraal Executif (Lajnah Tanfidziyah).

Kemelut itu terjadi karena PSII dalam pandangan Roem lebih menekankan pada aspek politik sementara tujuan dasar SI, yaitu memajukan perekonomian bumiputera, tidak diperhatikan lagi. Syarikat Islam juga tidak memperhatikan lagi masalah pendidikan agama Islam atau pengkaderan.

Untuk mengamalkan ilmu hukumnya, Roem membuka kantor pengacara (advokat) di Jakarta. Sebagian di antara organisasi yang mempercayakan jasa kepengacaraannya adalah Rumah Piatu Muslim di Jakarta dan Perhimpunan Dagang Indonesia (Perdi) di Purwokerto.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Roem dipercaya sebagai Ketua Muda “Barisan Hizbullah” di Jakarta. Barisan Hizbullah adalah organisasi semi-militer di bawah naungan Masyumi.

Dalam Muktamar Masyumi tahun 1947 diputuskan bahwa ummat Islam harus ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Negara Islam Indonesia tidak akan tegak kalau Indonesia belum merdeka, itulah alasannya. Oleh karena itulah para pimpinan dan anggota Masyumi berjuang mati-matian mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Apalagi setelah ada fatwa wajib jihad kepada seluruh umat Islam dari Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama yang juga salah seorang pendiri Masyumi.

Mohammad Roem-pun berjihad mati-matian mempertahankan kemerdekaan Indonesia, utamanya melalui jalur perundingan/diplomasi. Sikapnya untuk selalu menghargai pendapat orang lain meski berbeda dengan pendapatnya, menunjang keberhasilannya sebagai diplomat.

Oleh Pemerintahan Soekarno ia mendapat amanah menjadi angota tim juru runding RI dalam perundingan Renville 17 Januari 1948. Kemudian, seperti telah disinggung di atas, Roem diangkat sebagai ketua juru runding RI dalam perundingan Roem-Royen pada tanggal 14 April 1949.

Perundingan tersebut dinilai berhasil karena telah mendorong segera terselenggaranya Konferensi Meja Bundar dan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda tahun 1949.

Di masa berikutnya Roem pernah menjabat sebagai menteri dalam negeri dalam kabinet Natsir (1950-1953) serta pernah juga menjadi wakil perdana menteri dalam kabinet Ali Sastroamijoyo (1956-1957).

Pada masa Demokrasi Terpimpin, terjadi konflik antara Masyumi dengan Presiden Soekarno. Apalagi kemudian beberapa pemimpin Partai Masyumi, seperti Natsir bergabung dalam pemberontak PRRI.

Sejak Partai Masyumi membubarkan diri, karena dipaksa Soekarno, pada tanggal 17 Agustus 1960, Roem tidak lagi memegang jabatan di pemerintahan. Ia kemudian memusatkan perhatian pada penulisan buku dan penelitian sejarah perpolitikan di Indonesia serta bidang ilmiah lainnya.

Kegiatan ini tidak berjalan lancar, karena pada tanggal 16 Januari 1962, ia bersama-sama dengan beberapa tokoh Masyumi dan PSI ditahan pemerintah tanpa pengadilan. Mereka dituduh oleh Pemerintahan Presiden Sukarno terlibat peristiwa Cendrawasih, yakni peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di Makassar.

Roem dan kawan-kawan bisa keluar dari tahanan pada tahun 1966 setelah pemerintahan Soekarno goyang usai pemberontakan PKI tahun 1965. Selepas dari penjara kegiatan menulis buku dan penelitian diteruskan kembali. Salah satu kesibukannya antara lain menjadi Wakil Ketua Dewan Kurator Sekolah Tinggi Kedokteran Islam Jakarta pada tahun 1971.

Pada tahun 1969 Roem sempat hampir kembali ke kancah politik setelah terpilih sebagai ketua Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Ini adalah partai ‘jelmaan’ Masyumi yang didirikan oleh para mantan kader Masyumi.

Sayangnya Soeharto, presiden waktu itu, tidak menyetujui. Soeharto khawatir, jika dipimpin Roem, Parmusi bisa menjadi partai besar seperti Masyumi dulu, hingga menyaingi Golkar. Atas desakan pemerintah, terpaksa Roem batal jadi Ketua Parmusi, digantikan oleh Djarnawi Hadikusumo.

Sejak itu Roem betul-betul undur diri dari dunia politik praktis. Kemudian bersama-sama M Natsir dan kawan-kawan mantan kader Masyumi lainnya mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di tahun 1970-an. Di tempat inilah kakek dari Adi Sasono ini berkhidmat bersama para warga Bulan Bintang.

Sejak itu Roem aktif dalam berbagai fora Islam internasional, antara lain menjadi anggota Dewan Eksekutif Muktamar Alam Islami (1975), Member of Board Asian Conference of Religion for Peace di Singapura (1977) serta menjadi anggota Konferensi Menteri-Menteri Luar Negeri Islam di Tripoli (1977).

Meski begitu perhatiannya pada perkembangan Islam di tanah air tidak juga berkurang. Suat ketika Amien Rais dalam wawancaranya dengan majalah Panji Masyarakat (no 379/1982) menyatakan tidak ada negara Islam dalam Al-Quran dan As-Sunnah, “Oleh karena itu tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam,” kata Amien Rais.

Atas pandangan Amien itu kemudian Roem mengirimkan tanggapan ke majalah yang sama. Roem membenarkan, bahwa memang tidak ada negara Islam dalam nama, namun secara substansial ada. “…Pada akhir hayat Nabi, pada saat Surat Al-Maidah ayat 3 diwahyukan, maka sudah tumbuh sebuah masyarakat yang dibangun oleh dan di bawah kepemimpinan Nabi sendiri, yang tidak diberi nama khusu oleh Nabi, akan tetapi sudah mempunyai ciri-ciri sebagai negara, sedang hukumnya oleh Tuhan sudah dinamakan sempurna… Saya rasa selama tidak lebih dari tiga bulan itu di dunia pernah ada ‘Negara Islam’ atau Islamic State, tidak dalam nama, melainkan dalam substance, dalam hakikatnya.”

Sesudah itu Nurcholish Madjid yang sedang berada di Chicago menyuratinya, sehingga berlangsung korespondensi antara mereka berdua selama beberapa bulan. Setelah korespondensi berakhir, Mohammad Roem dipanggil ke hadhirat Allah pada tanggal 24 September 1983.

Pada tahun 1997 kumpulan korespondensi itu plus wawancara Amien Rais dengan majalah Panji Masyarakat serta tanggapan Roem dibukukan dan diterbitkan oleh Adi Sasono, lalu diberi judul “Tidak Ada Negara Islam; Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohammad Roem”.

Judul buku itu jelas menyesatkan, seolah-olah Roem menafikan keberadaan negara Islam. Padahal sesungguhnya, sebagaimana kutipan di atas, Roem mengakui pernah ada negara Islam, meski tidak dinamakan Negara Islam, yakni pemerintahan yang dipimpin oleh Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. (Agung Pribadi/SHW)

Sumber Hidayatulah Edisi 12/XV 2003 - Sejarah

Sejarah Sembilan Wali

Sejarah Oleh : Redaksi 01 Jan 2003 - 8:57 am

"Walisongo" berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid

Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.

Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.

Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.n

Maulana Malik Ibrahim (1)
Pesantren.net : Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi

Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.

Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.

Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.

Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.n


Sunan Ampel (2)
Pesantren.net : Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang)

Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.

Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.

Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.

Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah "Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina."

Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.n


Sunan Giri (3)
Pesantren.net : Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya--seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).

Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.

Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah "giri". Maka ia dijuluki Sunan Giri.

Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.

Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.

Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.

Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.

Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.n


Sunan Bonang (4)
Pesantren.net : Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban

Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali --yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.

Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.

Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah

yang berarti "sapi betina". Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.n


Sunan Kalijaga (5)
Pesantren.net : Dialah "wali" yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam

Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.

Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam ('kungkum') di sungai (kali) atau "jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab "qadli dzaqa" yang menunjuk statusnya sebagai "penghulu suci" kesultanan.

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.

Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.

Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga

dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.n


Sunan Gunung Jati (6)
Pesantren.net : Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).

Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.

Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.

Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.

Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.

Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.

Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.n

Sunan Drajat (7)
Pesantren.net : Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M

Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun

Jelog --pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.

Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah "berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang'.

Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.n


Sunan Kudus (8)
Pesantren.net : Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang

Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali --yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.

Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.

Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah

yang berarti "sapi betina". Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.n


Sunan Muria (9)
Pesantren.net : Ia putra Dewi Saroh --adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus

Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.

Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.n (Pesantren.net : )


Sejarah Islam Indonesia Cirebon-Banten (1500-an -1812)

Sejarah Oleh : Redaksi 01 Jan 2003 - 12:03 am

Kalangan kesultanan di Cirebon meyakini, pendiri Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang. Ia kemudian digantikan oleh Syarif Hidayatullah yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati yang lahir pada 1448. Dialah yang membangun kesultanan tersebut. Ayahnya ulama dari Timur Tengah, sedang ibunya dipercaya sebagai putri Raja Pajajaran.

Sunan Gunung Jati mempunyai ikatan erat dengan Demak. Jika di Demak posisi "raja" dan "ulama" terpisah, Sunan Gunung Jati adalah "raja" sekaligus "ulama". Ia mengenalkan Islam pada masyarakat di wilayah Kuningan, Majalengka hingga Priangan Timur. Bersama kerajaan Mataram, Kesultanan Cirebon mengirim ekspedisi militer untuk menaklukkan Sunda Kelapa (kini Jakarta) di bawah Panglima Fadhillah Khan atau Faletehan, pada 1527.

Sekitar tahun 1520, Sunan Gunung Jati dan anaknya, Maulana Hasanuddin melakukan ekspedisi damai ke Banten. Saat itu kekuasaan berpusat di Banten Girang di bawah kepemimpinan Pucuk Umum -tokoh yang berada di bawah kekuasaan Raja Pakuan, Bogor. Pucuk Umum menyerahkan wilayah itu secara sukarela, sebelum ia mengasingkan diri dari umum. Para pengikutnya menjadi masyarakat Badui di Banten, sekarang. Maulana Hasanuddin lalu membangun kesultanan di Surosowan, dan Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon.

Setelah Raden Patah meninggal, begitu pula Dipati Unus yang menyerbu Portugis di Malaka, kepemimpinan dilanjutkan oleh Sultan Trenggono. Sunan Gunung Jati-lah yang menobatkan Sultan Trenggono. Anaknya, Maulana Hasanuddin dinikahkan dengan Ratu Nyawa, putri Sultan Demak itu. Mereka dikaruniai dua anak, Maulana Yusuf dan Pangeran Aria Jepara -nama yang diperolehnya karena ia dititipkan pada Ratu Kalinyamat di Jepara.

Di Cirebon, dalam usia lanjut Sunan Gunung Jati menyerahkan keraton pada cicitnya, Panembahan Ratu. Setelah itu, kesultanan dipegang oleh putranya, Pangeran Girilaya. Setelah itu Cirebon terbelah. Yakni Kesultanan Kasepuhan dengan Pangeran Martawijaya Samsuddin sebagai raja pertamanya, dan Kasultanan Kanoman yang dipimpin Pangeran Kartawijaya Badruddin. Pada 1681, kedua kesultanan minta perlindungan VOC. Posisi Cirebon tinggal sebagai simbol, sementara kekuasaan sepenuhnya berada di tangan VOC.

Sementara itu, Banten justru berkembang menjadi pusat dagang. Maulana Hasanuddin meluaskan pengembangan Islam ke Lampung yang saat itu telah menjadi produsen lada. Di Banten tumbuh tiga pasar yang sangat sibuk. Ia wafat pada 1570. Sedangkan putranya, Maulana Yusuf menyebarkan Islam ke pedalaman Banten setelah ia mengalahkan kerajaan Pakuan pada 1579. Maulana Muhammad -putra Maulana Yusuf-tewas saat mengadakan ekspedisi di Sumatera Selatan (1596), kesultanan lalu dipegang Sultan Abdul Mufakir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651).

Pada masa itulah, kapal-kapal Belanda dan Portugis berdatangan ke Banten. Demikian pula para pedagang Cina. Ketegangan dengan Kesultanan Banten baru terjadi setelah Sultan Abdul Mufakir wafat, dan digantikan cucunya Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu, Sultan Ageng didampingi ulama asal Makassar Syekh Yusuf. Tokoh ini berperan besar dalam perlawanan Kerajaan Gowa (Makassar) di bawah Sultan Hasanuddin terhadap VOC. Sultan Ageng Tirtayasa yang menganggap kompeni menyulitkan perdagangan Banten, memboikot para pedagang Belanda.

Persoalan muncul setelah Sultan Ageng Tirtayasa menyerahkan kekuasaan pada anaknya yang baru pulang berhaji, Abdul Kohar Nasar atau Sultan Haji (1676). Sultan Haji lebih suka berhubungan dengan kompeni. Ia memberi keleluasaan pada Belanda untuk berdagang di Banten. Sultan Ageng Tirtayasa tak senang dengan kebijakan itu. Para pengikutnya kemudian menyerang Istana Surosowan pada 27 Februari 1682. Sultan Haji pun minta bantuan dari Belanda. Armada Belanda -yang baru mengalahkan Trunojoyo di jawa Timur-dikerahkan untuk menggempur Sultan Ageng Tirtayasa.

Para pengikut Sultan Ageng Tirtayasa pun menyebar ke berbagai daerah untuk berdakwah. Syekh Yusuf lalu dibuang ke Srilanka -tempat ia memimpin gerakan perlawanan lagi, sebelum dibuang ke Afrika Selatan. Di tempat inilah Syekh Yusuf menyebarkan Islam. Sedangkan Banten jatuh menjadi boneka Belanda. Daendels yang membangun jalan raya Anyer-Panarukan kemudian memindahkan pusat kekuasaan Banten ke Serang. Istana Surosowan dibakar habis pada 1812.

Pada tahun 1887, setelah meledak wabah penyakit anthrax tahun 1880 yang menewaskan 40.000 orang dan letusan Gunung Krakatau 23 Agustus 1883 yang menewaskan 21 ribu jiwa, Kiai Wasid dan para ulama memimpin pemberontakan heroik di Cilegon.n


Demak-Mataram


Adalah Raden Patah yang menjadi perintis kerajaan Islam di Jawa. Ia disebut-sebut sebagai putra Raja Majapahit Brawijaya V dengan putri asal Campa (kini Kamboja) yang telah masuk Islam. Masa kecilnya dihabiskan di Pesantren Ampel Denta -pesantren yang dikelola Sunan Ampel. Ibu Sunan Ampel (istri Maulana Malik Ibrahim) juga putri penguasa Campa. (Lihat: "Walisongo").

Ketika Majapahit melemah dan terjadi pertikaian internal, Raden Patah melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit dan membangun Kesultanan Demak. Dalam konflik dengan Majapahit, ia dibantu Sunan Giri. Berdirilah Kesultanan Demak pada 1475 atau beberapa tahun setelah itu. Kelahiran Demak tersebut mengakhiri masa Kerajaan Majapahit. Banyak penganut Hindu kemudian pindah ke Bali mendesak penduduk asli, atau mengasingkan diri ke Tengger.

Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa pengganti Raden Patah adalah Pangeran Sabrang Lor. Dia yang menyerbu Portugis di Malaka pada 1511. Pangeran Sabrang Lor ini tampaknya adalah Dipati Unus menurut sumber Portugis. Pada 1524-1546, kekuasaan Demak dipegang oleh Sultan Trenggono yang dilantik oleh Sunan Gunung Jati -Sultan Cirebon yang juga salah seorang "walisongo".

Dalam buku "Sejarah Ummat Islam Indonesia" yang diterbitkan Majelis Ulama Indonesia, Trenggono banyak membuat langkah besar. Pada masanya, Sunda Kelapa (kini Jakarta) digempur. Berbagai wilayah lain ditaklukkannya. Namun ia tewas dalam pertempuran menaklukkan Panarukan - Jawa Timur. Ia diganti adiknya, Sunan Prawoto, yang lemah. Banyak adipati memberontak. Prawoto dibunuh Adipati Jipang, Ario Penangsang.

Demak berakhir. Jaka Tingkir atau Sultan Adiwijaya -menantu Trenggono-memindahkan kerajaan ke Pajang. Atas bantuan Senopati, anak Ki Ageng Pemanahan, Ario Penangsang dapat dikalahkan. Senopati dijadikan menantu Sultan. Begitu Adiwijaya wafat, dia mengambil alih kekuasaan dan memindahkannya ke Mataram.

Senopati berkuasa dengan tangan besi. Legenda rakyat menyebut ia membunuh menantunya sendiri, Ki Mangir, dengan menghantamkan kepala korban ke batu. Ia digantikan anaknya, Pangeran Seda ing Krapyak yang meninggal pada 1613. Pemerintahan dilanjutkan oleh anak Seda ing Krapyak, Mas Rangsang yang kemudian bergelar Sultan Agung (1613-1645).

Model kepemimpinan Sultan Agung dianggap menjadi patron "kepemimpinan Soeharto". Dia memegang erat kekuasaan dengan gaya yang anggun. Wilayah demi wilayah ditaklukkannya untuk tunduk ke Mataram. Adipati Ukur di Sumedang diserangnya. Panembahan Kawis Gua -pelanjut Sunan Giri- berhasil dibekuk dan ditawan di Mataram. Blambangan digempur.

Kesultanan Cirebon diikatnya dengan perkawinan. Putri Sultan Agung menikah dengan Pangeran Cirebon. Adipati Surabaya yang memberontak dikalahkannya, lalu Pangeran Pekik, putra adipati itu diambilnya sebagai menantu.

Ia juga mengirim utusan ke Mekah, menggunakan kapal Inggris, untuk memperoleh gelar Sultan. Tahun 1641, gelar itu diperolehnya. Jadilah Mataram bukan hanya pusat kekuasaan namun juga pusat Islam di Jawa. Sultan Agung mengubah penanggalan Jawa dari Tahun Saka menjadi Tahun Hijriah. Ia juga memerintahkan para pujangga kraton untuk menulis 'Babad Tanah Jawi'.

Setelah era Demak, Sultan Agung adalah satu-satunya kekuasaan yang berani menggempur asing. Pada 1618, VOC Belanda bertikai dengan Jepara yang berada di pihak Mataram. Pada 1628 dan 1629, Sultan Agung dua kali menyerang markas VOC di Batavia. Upayanya gagal setelah gudang persediaan makanannya dibakar Belanda.

Pada Februari 1646, Sultan Agung wafat. Ia dimakamkan di puncak bukit imogiri, komplek pemakaman yang dibangunnya pada 1631. (Soeharto juga membangun komplek pemakamannya sendiri). Ia digantikan anaknya, Amangkurat I (1647-1677). Pada masa inilah, Mataram hancur. Ia banyak mengumbar nafsu. Ribuan ulama dikumpulkan di alun-alun untuk dibantai karena mereka bersimpati pada Pangeran Alit, paman Amangkurat yang tewas setelah berontak.

Sang anak, Amangkurat II, seorang ambisius. Ia ingin sesegera mungkin mendepak ayahnya. Ia mengundang kawannya seorang Madura, Trunojoyo, untuk memberontak. Trunojoyo menguasai kerajaan. Pada 1677 itu, di saat rakyat tertimpa musibah kelaparan hebat, Amangkurat I terlunta-lunta mengungsi hingga meninggal di daerah Tegal. Sejak Amangkurat I, kekuasaan di Jawa sepenuhnya dalam kendali pihak Belanda.

Amangkurat II kemudian berkoalisi dengan Belanda untuk menyingkirkan Trunojoyo. Bahkan Amangkurat II menikam sendiri perut sahabat dekatnya tersebut. Amangkurat II ini yang menurunkan Dinasti Pakubuwono di Solo dan Hamengkubuwono di Yogya. Dari Pakubuwono kemudian pecah Dinasti Mangkubumi. Sedangkan dari Hamengkubuwono lahir Dinasti Paku Alam.

Islam hanya tersisa sebagai simbol.n


Pasai-Aceh


Catatan tertua tentang kerajaan wilayah ini berasal dari Cina. Yakni tentang kedatangan utusan dari negeri Lan Wo Li (Lamuri) dan Samutala (Samudera) Nama kedua utusan itu bercirikan muslim. Lamuri kini berlokasi di Aceh Besar, sedangkan Samudera berada di kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara.

Pada 1345, Ibnu Batuthah dari Maroko singgah di Samudera Pasai dalam perjalanan dari Delhi-India ke Cina. Ia menggambarkan jumlah penduduk kota sekitar 20 ribu jiwa. Di sana terdapat istana yang ramai dengan ratusan ilmuwan dan ulama. Pada masa itu, sultan adalah Ahmad Malik Ad-Dhahir (1326-1371). Ia mewarisi kekuasaan di sana dari Sultan Muhammad Malik ad-Dhahir (1297-1326).

Yang dianggap sebagai pembangun Dinasti Kerajaan Samudera Pasai adalah Merah Silu (1275-1297). Semula, ia adalah penyembah berhala. Kemudian Merah Silu masuk Islam dan menggunakan nama Malik Saleh. Beberapa nama sultan sempat tercatat. Antara lain Zainal Abidin Malik (1371-1405), lalu Sultan Hidayah Malik, juga Nahrisyah.

Bersamaan dengan itu, di ujung utara Aceh juga tumbuh menjadi satu pusat kekuasaan. Buku "Sejarah Umat Islam" terbitan MUI menyebut sembilan nama sultan yang dimulai dengan Johansyah (601 H. atau sekitar peralihan abad 12-13 Masehi), sebelum kemudian terjadi dua kerajaan kecil. Yakni raja Mudhafarsyah di Mahkota Alam dan Inayatsyah di Darul Kamal. Mudhafarsyah menang. Penggantinya, Ali Mughayatsyah menyatukan kedua kerajaan itu, dan menetapkan Bandar Aceh Darussalam sebagai ibukota.

Mughayatsyah pula yang menyatukan Kesultanan Pasai ke dalam kendalinya pada 1524. Pasai berakhir. Wilayah Deli bahkan dikuasai. Pada 1521, armada laut Aceh menghancurkan kekuatan Portugis pimpinan Jorge de Brito. Anak Mughasyatsyah, Salahuddin, pada 1537 menyerang Malaka namun gagal. Aceh dapat memulihkan kekuatannya di masa Sultan Alauddin Rihayatsyah yang digelari Al- Kahar (sang penakluk).

Musafir Portugis F. Mendez Pinto yang tinggal di Aceh 1539, menyebut pasukan Al-Kahar berasal dari berbagai bangsa. Ia memiliki batalyon tentara Turki. Al-Kahar dua kali menggempur Malaka, yakni 1547 dan 1568. Pasukannya bahkan mengalahkan Portugis (1562) dengan meriam yang dibelinya dari Turki. Masyarakat Aceh mengenal cerita "lada secupak". Cerita sat Raja Aceh mengirim utusan ke Turki untuk membeli meriam dengan menggunakan lada sebagai pembayarannya. Di Turki mereka lama menunggu, sampai akhirnya utusan itu menjual lada sedikit demi sedikit sehingga tinggal "secupak".

Pada 28 September 1571, Sultan Alauddin wafat. Perebutan kekuasaan terus terjadi, sampai seorang tua bernama Sayyid Al-Mukammil disepakati menjadi raja. Ali Riayatsyah menggantikan Al-Mukammil. Aceh diserbu Portugis. Raja wafat dalam serbuan itu. Iskandar Muda -keponakan yang tengah dipenjara oleh raja-bangkit memimpin perlawanan dan mampu mengusir Portugis. Kitab "Bustanus-salatin" menyebut Iskandar Muda dinobatkan pada 6 Dzulkhijjah 1015, atau awal April 1607.

Para bangsawan kerajaan dikontrol dengan keras oleh Iskandar Muda. Mereka diharuskan ikut jaga malam di istana setiap tiga hari sekali tanpa membawa senjata. Setelah semua terkontrol, Iskandar Muda memegang kendali terhadap produksi beras. Di masanya, Kerajaan Aceh Darussalam mengekspor beras keluar wilayah. Ia memperketat pajak kelautan bagi kapal-kapal asing, mengatur kembali pajak perdagangan (saat itu banyak pedagang Inggris dan Belanda berada di Aceh), bahkan juga mengenai harta untuk kapal karam.

Untuk militer, Iskandar Muda membangun angkatan perang yang sang kuat. Seorang asing, Beaulieu mencatat jumlah pasukan darat Aceh sekitar 40 ribu orang. Untuk armada laut, diperkirakan Aceh memiliki 100-200 kapal, diantaranya kapal selebar 30 meter dengan awal 600-800 orang yang dilengkapi tiga meriam. Ia juga mempekerjakan seorang Belanda sebagai penasihat militer yang mengenalkan teknik perang bangsa Belanda dan Perancis. Benteng Deli dijebol. Beberapa kerajaan ditaklukkan seperti Johor (1613), Pahang (1618), Kedah (1619) serta Tuah (1620).

Iskandar Muda wafat pada 29 Rajab 1046 H, atau 27 Desember 1636. Ia digantikan menantunya, Sultan Iskandar Tsani yang lembut. Tidak bertangan besi seperti mertuanya. Iskandar Tsani lebih menitikberatkan pada masalah keagamaan ketimbang kekuasaan. Begitu pula istrinya, Sri Sultan Taju al_Alam Syafiatuddin Syah (1641-1675) setelah Iskandar Tsani wafat. Setelah itu, tiga perempuan memegang kendali kerajaan Aceh. Mereka adalah Sultanah Nurul Alam Zakiatuddin Syah (1675-1677), Ratu Inayat Zakiatuddin Syah (1677-1688) dan Ratu Kamalat. (1688-1699).

Kesultanan Aceh terus berjalan. Namun, pamornya terus menyurut. Pertikaian internal terus berlangsung. Sementara pusat kegiatan ekonomi dan politik bergeser ke selatan ke wilayah Riau-Johor-Malaka. Aceh baru muncul kembali dua abad kemudian, yakni akhir Abad 19, ketika Belanda berusaha menguasai wilayah tersebut. Pemberontakan oleh para bangsawan Aceh terjadi. Sekali lagi, sejarah Aceh kepemimpinan perempuan yakni melalui perlawanan Tjut Nya' Dhien, sekalipun sudah tanpa Teuku Umar dan Panglima Polim.n Dua abad kemudian, kepemimpinan perempuan di Aceh mewujud pada Tjut Nya' Dhien yang memimpin pemberontakan terhadap Belanda. n

Perang Aceh
(1873-1903)


Awalnya adalah "Tractat London 1871". Dalam perjanjian tersebut, Inggris menyerahkan seluruh wilayah Sumatera pada Belanda. Sebelumnya, "Tractat 1824", wilayah yang diserahkan hanya "Pantai Barat Sumatera". Dengan demikian Aceh terlindung dari tangan-tangan Belanda.

Kini Belanda mengincar Aceh. Pada 27 Desember 1871, wakil Sultan Aceh -Habib Abdurrahman-berunding dengan Belanda di geladak kapal Jambi. Intinya, Aceh sepakat untuk berdagang dan bersahabat dengan Belanda asalkan wilayah yang pernah menjadi bagian Kerajaan Aceh dikembalikan. Di antaranya adalah Sibolga, Barus, Singkel, Pulau Nias dan beberapa kerajaan di pesisir Sumatera Timur. Lima orang utusan Sultan Aceh dipimpin Tibang Muhammad datang untuk berunding dengan Residen Riau, Desember 1872.

Sebulan di Riau duta tersebut pun diantar pulang dengan kapal uap Mernik, melalui Singapura. Di Singapura, mereka sempat bertemu dengan Konsul Amerika dan Konsul Italia. Pertemuan tersebut dimanfaatkan Belanda untuk menuduh Aceh berselingkuh. Belanda lalu mempersiapkan armada perangnya untuk menggempur Aceh. Kesultanan Aceh juga bersiaga. Mereka mendatangkan 1349 senjata -berikut 5.000 peti mesiu-dari Pulau Pinang. Rakyat juga telah dimobilisasi oleh T. Chik Kutakarang.

Tanggal 1 April 1873, F.N. Nieuwenhuyzen menyatakan perang. Sebanyak 33 kapal mengepung Aceh, dengan kekuatan 168 perwira dan 3198 prajurit. Tanggal 5 April, perang pecah di Pantai Cermin -Banda Aceh. Kapal "Citadel van Antwerpen" terkena 12 tembakan meriam. Belanda terus mendesak ke arah Masjid Raja dan "dalam" -istilah untuk menyebut istana. Rakyat Aceh -yang terus meneriakkan "La ilaha illallah"-semakin gigih. Tanggal 14 April, Jenderal Mayor J.H.R. Kohler tewas. Belanda mundur. Sebanyak 45 orang pasukan Belanda tewas, 405 lain luka-luka. Tanggal 25 April, serdadu Belanda kembali ke kapal. Empat hari kemudian, mereka meninggalkan pantai Aceh.

Tanggal 16 Nopember 1873, 60 kapal bertolak dari Batavia untuk kembali menyerang Aceh. Kapal tersebut membawa 389 perwira, 7888 serdadu, 32 perwira dokter, juga "3565 orang hukuman dan 246 perempuan". Mereka membawa pula 206 pucuk meriam dan 22 mortir, dilengkapi pasukan zeni pembuat rel kereta api dan rakit untuk menyusuri sungai, seorang pastur, seorang ustad H.M. Ilyas asal Semarang, dan lima orang Jawa dan Cina sebagai mata-mata.

Sebelumnya, Belanda juga telah menyusupkan seorang bernama Ali Bahanan. Mangkunegara yang membantu Belanda menggempur Diponegoro, dilibatkan pula dalam serangan ke Aceh. Perwira Mangkunegara Ario Gondo Sisworo ikut berangkat ke Aceh bersama Perwira Paku Alam, Raden Mas Panji Pakukuning. Tanggal 9 Desember 1873, tentara Belanda mendarat di Kualalue dan bergerak di Kuala Gigieng. Perlawanan pasukan Tuanku Hasyim dan Tuanku Manta Setia dipatahkan Jenderal Mayor Verpijck.

Panglima Polim mengorganisasikan 3000 pasukannya di sekitar Masjid Raya. Ia dibantu 800 tentara Raja Teunom, 500 tentara Raja Pidie, dan sekitar 1000 rakyat Peusangan. Namun, 6 Januari 1874, Masjid Raya jatuh. Tanggal 13 Januari, Sultan dan Panglima Polim meninggalkan istana dan mengungsi ke Luengbata, lalu Pade Aye. Namun lima hari kemudian Sultan wafat karena penyakit kolera. Panglima Polim dan petinggi kerajaan kemudian mengangkat Muhammad Daudsyah -putra sultan yang baru berusia enam tahun-- sebagai sultan baru. Tanggal 31 Januari 1874, Jenderal van Swieten mengumumkan bahwa Aceh sudah ditaklukkan.

Namun, di luar Banda Aceh, perlawanan terus berlangsung sengit. Habib Abdurrahman, utusan Aceh ke Turki, berhasil mendarat di Idi dengan menyamar sebagai seorang Keling. Ia memimpin perlawanan yang menimbulkan banyak korban di kalangan Belanda. Belanda memperkuat gempurannya dengan mengganti Jenderal Diemont dengan Van der Hejden. Mereka berhasil menjepit perlawanan rakyat Aceh. Habib Abdurrahman menyerah, dan dikirim ke Jedah dengan kapal "Curacau" pada 23 Nopember 1878, dan dibekali 1200 ringgit. Dari Habib Abdurrahman, Belanda juga mendapat strategi untuk mematahkan rakyat Aceh.

Di Aceh Barat, Teuku Umar dan istrinya, Tjut Nya' Dhien memimpin perlawanan. Di Tiro, Tengku Cik di Tiro Muhammad Amin dan penggantinya, Tengku Syeikh Saman menggalang perlawanan rakyat. Pada Agustus 1893, Teuku Umar sempat menyeberang ke pihak Belanda dan dianugerahi gelar Teuku Umar Johan Pahlawan.

Tiga tahun kemudian, Teuku Umar bergabung kembali dengan kawan-kawannya. Ia, bersama Sultan dan Panglima Polim habis-habisan bertempur. Dalam pertempuran di Pulo Cicem dan Kuta Putoih, 78 orang tentara Aceh tewas. Teuku Umar mundur ke Aceh Barat. Ia tewas pada 11 Februari 1899, dalam bentrokan di Meulaboh. Gubernur J.B. Van Heutz memimpin langsung serangan ke Pidie. Ia juga menggunakan penasihatnya, Snouck Horgonje, yang mengaku telah masuk Islam untuk menarik simpati rakyat Aceh.

Sultan dan Panglima Polim membentuk basis di Kuta Sawang. Namun pertahanan tersebut hancur dalam serangan 14 Mei 1899. Di saat kekuatan Sultan terdesak, di Aceh Timur seorang ulama bernama Abdullah Pakeh atau Teungku Tapa, berhasil mengorganisasikan 10 ribu pasukan. Ia juga menggalang laskar perempuan berkekuatan 500 orang. Berulang kali pasukan Teungku Tapa menyulitkan tentara Belanda.

Pertempuran demi pertempuran terus berlangsung. Februari 1900, Sultan dan para pengikutnya menyingkir ke Gayo. Tanggal 1 Oktober 1901, Mayor G.C.E van Daaelen menyisir Tanah Gayo di pedalaman sekitar Danau Laut Tawar. Tidak ada hasil. Belanda kemudian bersiasat dengan menangkap istri Sultan di Glumpang Payong, dan kemudian istri lainnya di Pidie. Anak Sultan, Tuanku Ibrahim, juga ditangkap. Sultan, pada tanggal 10 Januari 1903, menyerahkan diri setelah Belanda mengancam akan mengasingkan istri dan anak sultan. Tanggal 6 September 1903, Panglima Polim juga menyerah setelah istrinya ditangkap. Perlawanan Tjut Nya' Dhien juga dapat diakhiri. Ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, dan meninggal pada 1906.

Perlawanan rakyat masih terus berlangsung. Namun Belanda telah menguasai keadaan.n

Perang Diponegoro
(1825-1830)


Sebelas November 1785, keluarga kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berbahagia. Hamengku Buwono III (HB-III), hari itu, mempunyai anak pertama yang dinamai Antawirya. Konon Hamengkubuwono I (HB-I) sangat tertarik pada cicitnya itu. Ia, katanya, akan melebihi kebesarannya. Ia akan memusnahkan Belanda.

Antawirya dibesarkan di Tegalrejo dalam asuhan Ratu Ageng, istri HB-I. Di sana ia belajar mengaji Quran dan nilai-nilai Islam. Tegalrejo juga memungkinkannya untuk lebih dekat dengan rakyat. Spiritualitasnya makin terasah dengan kesukaannya berkhalwat atau menyepi di bukit-bukit dan gua sekitarnya. Hal demikian membuat Antawirya semakin tak menikmati bila berada di kraton yang mewah, dan bahkan sering mengadakan acara-acara model Barat. Termasuk dengan pesta mabuknya. Kabarnya, Antawirya hanya "sowan" ayahnya dua kali dalam setahun. Yakni saat Idul Fitri dan 'Gerebeg Maulid".

Antawirya kemudian bergelar Pangeran Diponegoro. Ia tumbuh sebagai seorang yang sangat disegani. Ayahnya hendak memilihnya sebagai putra mahkota. Ia menolak. Ia tak dapat menikmati tinggal di istana. Ia malah menyarankan ayahnya agar memilih Djarot, adiknya, sebagai putra mahkota. Ia hanya akan mendampingi Djarot kelak.

Pada 1814, Hamengku Buwono III meninggal. Pangeran Djarot, yang baru berusia 13 tahun, diangkat menjadi Hamengku Buwono IV. Praktis kendali kekuasaan dikuasai Patih Danurejo IV -seorang pro Belanda dan bahkan bergaya hidup Belanda. Perlahan kehidupan kraton makin menjauhi suasana yang diharapkan Diponegoro. Apalagi setelah adiknya, Hamengku Buwono IV meninggal pada 1822. Atas inisiatif Danurejo pula, Pangeran Menol yang baru berusia 3 tahun dinobatkan menjadi raja. Makin berkuasalah Danurejo.

Saran-saran Diponegoro tak digubris. Danurejo dan Residen Yogya A.H. Smissaert malah berencana membuat jalan raya melewati tanah Diponegoro di Tegalrejo. Tanpa pemberitahuan, mereka mematok-matok tanah tersebut. Para pengikut Diponegoro mencabutinya. Diponegoro minta Belanda untuk mengubah rencananya tersebut. Juga untuk memecat Patih Danurejo. Namun, pada 20 Juli 1825, pasukan Belanda dan Danurejo IV mengepung Tegalrejo. Diponegoro telah mengungsikan warga setempat ke bukit-bukit Selarong. Di sana, ia juga mengorganisasikan pasukan.

Pertempuran pun pecah. Upaya damai dicoba dirintis. Belanda dan Danurejo mengutus Pangeran Mangkubumi -keluarga kraton yang masih dihormati Diponegoro. Namun, setelah berdialog, Mangkubumi justru memutuskan bergabung dengan Diponegoro. Gubernur Jenderal van der Capellen memperkuat pasukannya di Yogya. Namun 200 orang tentara itu, termasuk komandannya Kapten Kumsius, tewas di Logorok, Utara Yogya, atas terjangan pasukan Diponegoro di bawah komando Mulyosentiko.

Dalam pertikaian ini, dua kraton Surakarta -Paku Buwono dan Mangkunegoro- berpihak pada Belanda. Pasukan pimpinan Tumenggung Surorejo dapat menghancurkan pasukan bantuan Mangkunegoro. Di Magelang, pasukan Haji Usman, Haji Abdul Kadir mengalahkan tentara Belanda dan Tumenggung Danuningrat. Danuningrat tewas di pertempuran itu. Di Menoreh, Diponegoro sendiri memimpin pertempuran yang menewaskan banyak tentara Belanda dan Bupati Ario Sumodilogo.

Markas Prambanan diduduki. Meriam-meriam Belanda berhasil dirampas. Di daerah Bojonegoro-Pati-Rembang, pihak Belanda ditaklukkan pasukan rakyat Sukowati pimpinan Kartodirjo. Pertahanan Belanda di Madiun dihancurkan pasukan Pangerang Serang dan Pangeran Syukur. Belanda kemudian mendatangkan pasukan Jenderal van Geen yang terkenal kejam di Sulawesi Selatan. Dalam pertempuran di Dekso, Sentot Alibasyah menewaskan hampir semua pasukan itu. Van Geen, Kolonel Cochius serta Pangeran Murdoningrat dan Pangeran Panular lolos.

Murdoningrat dan Panular kembali menyerang Diponegoro. Kali ini bersama Letnan Habert. Di Lengkong, mereka bentrok. Habert tewas di tangan Diponegoro sendiri. Pasukan Surakarta yang sepakat melawan Diponegoro dihancurkan di Delanggu. Benteng Gowok yang dipimpin Kolonel Le Baron, jatuh dalam serbuan 15-16 Oktober 1826. Diponegoro tertembak di kaki dan dada dalam pertempuran itu. Pasukan Sentot Alibasyah yang tinggal selangkah merebut kraton Surakarta dimintanya mundur. Tujuan perang, kata Diponegoro, adalah melawan Belanda dan bukan bertempur sesama warga.

Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya. Pemberontakan Paderi di Sumatera Barat, untuk sementara dibiarkan. Sekitar 200 benteng telah dibangun untuk mengurangi mobilitas pasukan Diponegoro. Perlahan langkah tersebut membawa hasil. Dua orang panglima penting Diponegoro tertangkap. Kyai Mojo tertangkap di Klaten pada 5 Nopember 1828. Sentot Alibasyah, dalam posisi terkepung, menyerah di Yogya Selatan pada 24 Oktober 1829.

Diponegoro lalu menyetujui tawaran damai Belanda. Tanggal 28 Maret 1830, Diponegoro disertai lima orang lainnya (Raden Mas Jonet, Diponegoro Anom, Raden Basah Martonegoro, Raden Mas Roub dan Kyai Badaruddin) datang ke kantor Residen Kedu di Magelang untuk berunding dengan Jenderal De Kock. Mereka disambut dengan upacara militer Belanda. Dalam perundingan itu, Diponegoro menuntut agar mendapat "kebebasan untuk mendirikan negara sendiri yang merdeka bersendikan agama Islam."

De Kock melaksanakan tipu muslihatnya. Sesaat setelah perundingan itu, Diponegoro dan pengikutnya dibawa ke Semarang dan terus ke Betawi. Pada 3 Mei 1830, ia diasingkan ke Manado, dan kemudian dipindahkan lagi ke Ujungpandang (tahun 1834) sampai meninggal. Di tahanannya, di Benteng Ujungpandang, Diponegoro menulis "Babad Diponegoro" sebanyak 4 jilid dengan tebal 1357 halaman.

Pergolakan rakyat pimpinan Diponegoro telah menewaskan 80 ribu pasukan di pihak Belanda -baik warga Jawa maupun Belanda dan telah menguras keuangan kolonial. Hal demikian mendorong Belanda untuk memaksakan program tanam paksa yang melahirkan banyak pemberontakan baru dari kalangan ulama. Di Jawa, para pengikut Diponegoro seperti Pangeran Ario Renggo terus melancarkan perlawanan meskipun secara terbatas.n

Perang Paderi
(1821-1837)


Masyarakat Minangkabau telah memeluk ajaran Islam sejak Abad 16 atau bahkan sebelumnya. Namun hingga awal abad 19, masyarakat tetap melaksanakan adat yang berbau maksiat seperti judi, sabung ayam maupun mabuk-mabukan. Hal demikian menimbulkan polemik antara Tuanku Koto Tuo -seorang ulama yang sangat disegani, dengan para muridnya yang lebih radikal. Terutama Tuanku nan Reneh.

Mereka sepakat untuk memberantas maksiat. Hanya, caranya yang berbeda. Tuanku Koto Tuo menginginkan jalan lunak. Sedangkan Tuanku nan Reneh cenderung lebih tegas. Tuanku nan Reneh kemudian mendapat dukungan dari tiga orang yang baru pulang dari haji (1803) yang membawa paham puritan Wahabi. Mereka Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Delapan Kota, dan Haji Piobang dari Lima Puluh Kota.

Kalangan ini kemudian membentuk forum delapan pemuka masyarakat. Mereka adalah Tuanku nan Reneh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Ambelan dan Tuanku Kubu Sanang. Mereka disebut "Harimau nan Salapan" (Delapan Harimau). Tuanku Koto Tuo menolak saat ditunjuk menjadi ketua. Maka anaknya, Tuanku Mensiangan, yang memimpin kelompok tersebut. Sejak itu, ceramah-ceramah agama di masjid berisikan seruan untuk menjauhi maksiat tersebut.

Ketegangan meningkat setelah beberapa tokoh adat sengaja menantang gerakan tersebut dengan menggelar pesta sabung ayam di Kampung Batabuh. Konflik terjadi. Beberapa tokoh adat berpihak pada ulama Paderi. Masing-masing pihak kemudian mengorganisasikan diri. Kaum Paderi menggunakan pakaian putih-putih, sedngkan kaum adat hitam-hitam.

Tuanku Pasaman yang juga dikenal sebagai Tuanku Lintau di pihak Paderi berinisiatif untuk berunding dengan Kaum Adat. Perundingan dilngsungkan di Kota Tengah, antara lain dihadiri Raja Minangkabau Tuanku Raja Muning Alamsyah dari Pagaruyung. Perundingan damai tersebut malah berubah menjadi pertempuran. Raja Muning Alamsyah melarikan diri ke Kuantan, Lubuk Jambi. Pada 1818, Raja Muning mengutus Tuanku Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam untuk menemui Jenderal Inggris Raffles di Padang. Gubernur Jenderal Inggris Lord Minto yang berkedudukan di Kalkuta menolak untuk campur tangan soal ini. Melalui "Tractat London", Inggris bahkan menyerahkan kawasan Barat Sumatera pada Belanda.

Pada 10 Februari 1821, Tuanku Suruaso memimpin 14 penghulu dari pihak Adat mengikat perjanjian dengan Residen Du Puy. Du Puy lalu mengerahkan 100 tentara dan dua meriam untuk menggempur kota Simawang. Perang pun pecah. Sejak peristiwa itu, permusuhan kaum Paderi bukan lagi terhadap kalangan Adat, melainkan pada Belanda. Mereka pun memperkuat Benteng Bonjol yang telah dibangun Datuk Bandaro. Muhammad Syabab -kemudian dikenal dengan panggilan Tuanku Imam Bonjol-ditunjuk untuk memimpin benteng itu.

Dengan susah payah Belanda menguasai Air Sulit, Simabur dan Gunung. Dari Batavia, Belanda mengirim bantuan 494 pasukan dan 5 pucuk meriam. Pagaruyung dan Batusangkar dapat direbut. Mereka membangun benteng Fort van der Capellen, dan menawarkan damai. Tuanku Lintau menolak. Pertempuran sengit terjadi lagi. Tanggal 17 Maret 1822, pasukan Letkol Raaff yang hendak menyerang melalui Kota Tengah dan Tanjung Berulak berhasil dijebak Tuanku nan Gelek.

Juli 1822, sekitar 13 ribu pasukan Paderi merebut pos Belanda di Tanjung Alam. Pada 15 Agustus juga merebut Penampung, Kota Baru dan Lubuk Agam. Maka, pada 12 April 1823, Belanda mengerahkan kekuatan terbesarnya di bawah komando Raaff. Sebanyak 26 opsir, 562 serdadu, dan 12 ribu orang pasdukan adat menggempur Lintau. Namun mereka dapat dihancurkan di Bukit Bonio. Pasukan van Geen yang hendak menyelamatkan meriam di Bukit Gadang juga kocar-kacir. Tiga perwira dan 45 serdadu Belanda tewas. Van Geen luka parah tertusuk tombak.

Pada 16 Desember 1823, Raaff kemudian diangkat menjadi Residen menggantikan Du Puy. Ia berhasil membuat perjanjian damai di Bonjol. Namun, diam-diam ia juga mengkonsolidasikan pasukan. Dan bahkan menggempur Guguk Sigadang dan Koto Lawas. Pemimpin Paderi, Tuanku Mensiangan terpaksa hoijrah ke Luhak Agam. Paderi semakin kuat karena kini pasukan adat mulai berpihak ke mereka.

Raaff meninggal lantaran sakit. Penggantinya, de Stuers memilih jalan damai. Langkah ini ditempuhnya karena Belanda mengkonsentrasikan kekuatan untuk menghadapi pemberontakan Diponegoro. Stuers menugasi seorang Arab, Said Salim al-Jafrid, untuk menjadi penghubung. Tanggal 15 Nopember 1825, perjanjian damai pun diteken antara de Stuers dan Tuanku Keramat. Suasana Sumatera Barat kemudian relatif tenang.

Namun pengkhianatan terjadi lagi. Kolonel Elout menggempur Agam dan Lintau. Ia juga menugasi kaki tangannya, anak Tuanku Limbur, untuk membunuh Tuanku Lintau dengan bayaran. Pembunuhan terjadi pada 22 Juli 1832. Usai Perang Diponegoro itu, tentara Belanda dikerahkan kembali ke Sumatera Barat. Kota demi kota dikuasai. Benteng Bonjol pun bahkan berhasil direbut. Namun sikap kasar tentara Belanda pada tokoh-tokoh masyarakat yang telah menyerah, membuat rakyat marah. Ini membangkitkan perlawanan yang lebih sengit.

Pada 11 Janurai 1833, Paderi bangkit. Secara serentak mereka menyerbu dan menguasai pos-pos Belanda di berbagai kota. Benteng Bonjol berhasil mereka rebut kembali. Seluruh pasukan Letnan Thomson, 30 orang, mereka tewaskan. Belanda kembali menggunakan siasat damai lewat kesepakatan "Plaakat Panjang", 25 Oktober 1833. Namun Jenderal van den Bosch kembali menyerbu Bonjol. Ia gagal, 60 orang tentaranya tewas. Kegagalan serupa terjadi pada pasukan Jenderal Cochius.

Namun serangan dadakan berikutnya menggoyahkan kubu Paderi. Masjid dan rumah Imam Bonjol terbakar. Paha Imam Bonjol tertembak. Ia juga terkena 13 tusukan, meskipun ia sendiri berhasil menewaskan sejumlah serdadu. Dalam keadaan terluka parah, Imam Bonjol terus memimpin Paderi dari tempat perlindunganya di Merapak, lalu ladang Rimbo, dan kemudian Bukit Gadang.

Benteng Bonjol kembali jatuh, 16 Agustus 1837. Belanda kemudian menawarkan perundingan damai. Saat itulah Tuanku Imam Bonjol dapat dijebak dan kemudian ditangkap pada 28 Oktober 1837. Imam Bonjol kemudian diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat, lalu dipindah ke Ambon pada 19 Januari 1839. Pada 1841, ia dipindahkan ke Manado dan wafat di sana pada 6 Nopember 1864.

Tuanku Tambusai melanjutkan perlawanan dan berbasis di Mandailing -Tapanuli Selatan. Tuanku Tambusai inilah yang menjadikan Mandailing sebagai daerah berbasis muslim.n